Masa SMA 1: Patah Hati Pertama | Blog

Aku bersekolah di SMA Negeri 5 Surabaya, satu dari 4 'SMA komplek' di Surabaya. SMALA, begitu sebutannya, merupakan sekolah negeri terbaik di Surabaya saat itu. Aku juga masuk di kelas terbaik di sana, yaitu Kelas Akselerasi. Bersama anak-anak terpilih lainnya, aku bisa lulus sekolah 1 tahun lebih cepat dari siswa biasanya.

Di sana aku bertemu dengan anak-anak pintar dari seluruh SMP se-Surabaya dan sekitarnya. Karena tidak banyak siswa SMPN 22 yang diterima di sana, aku merasa aku bisa membuat identitas baru. Aku bisa menjadi siapapun yang kumau. Aku pun mengenalkan namaku sebagai 'Ding', terinspirasi dari sebuah seruan dari serial buku Lupus.

Sepanjang SMA, aku tidak pernah dipanggil 'Ding' lagi.

Sebagai bagian dari masa orientasi, setiap kelas diwajibkan untuk menampilkan sebuah 'Cheerliar', yaitu cheerleader oleh para cowok. Semua anak cowok di kelas harus tampil saat itu. Aku yang senang tampil jadi bersemangat. 

Lagu-lagu dan koreografi kami dikonsep oleh murid-murid cewek. Di situlah aku mulai mengenal Kpop. Aku mulai tertarik karena cowok-cowok Kpop tidak dituntut untuk macho dan sporty. Aku pun menemukan panutan cowok yang tidak maskulin secara konsepsional, tetapi mereka sukses dan terkenal. Boyband favoritku saat itu adalah SHINee. Aku suka mereka sejak melihat video klip lagu 'Lucifer' mereka yang kostumnya sangat unik dan artistik.

Karena cowok di kelasku adalah minoritas, aku jadi dekat dengan mereka. Aku cukup dekat dengan seorang cowok bernama Gayo. Bagi teman-teman sekelasku, di mana ada aku, di situ ada Gayo, dan sebaliknya. Padahal, aku juga punya grup kecil yang berisikan aku, Gayo, Fifi, Wida, dan Albertus. Kami bahkan membuat sebuah grup di Facebook.

Saat itu, Facebook baru saja booming. Aku aktif menulis puisi dan esai di sana. Aku senang karena teman-temanku sering membaca tulisanku di sana. Penulis idolaku saat itu adalah Andrea Hirata dan Raditya Dika.

Saat itu aku nomor absen 3. Di kelas, kami punya lemari yang terdiri dari beberapa loker kecil. Karena absenku tinggi, aku mendapatkan loker di barisan atas. Namun beberapa waktu kemudian aku bertukar loker dengan seorang cewek Chinese bernama Rieka yang bernomor absen 21. Dia kesulitan menggapai lokernya karena memiliki skoliosis. Rieka sendiri suka memakai jaket di kelas untuk menutupi bahunya tersebut.

Di kelas, ada banyak cewek yang kuanggap cantik. Namun pada akhirnya aku jatuh hati kepada Rieka. Dia adalah cewek yang cenderung pendiam dan jago menggambar.

Aku iseng-iseng mengajak ngobrol Rieka di Twitter. Dia menanggapi dengan cukup positif. Kami pun berpindah ke SMS. Walaupun belum dekat, aku menembaknya. Dia pun kaget, tetapi tidak mengiyakan.

Keesokan harinya, Fifi dan Wida mengajakku ngobrol. Ternyata Rieka meminta mereka untuk menolakku. Menurut mereka, alasannya adalah karena Rieka sudah dibaptis dan tidak bisa berpacaran dengan cowok berbeda agama.

Aku sangat patah hati waktu itu. Aku merasa seperti ditampar karena aku tahu dalam Islam aku tidak dibolehkan pacaran. Namun justru aku diingatkan untuk tidak pacaran oleh seseorang yang agamanya berbeda denganku. Sebagai umat Muslim, aku merasa malu.

Namun aku tidak berhenti di situ. Aku tetap ber-SMS dengan Rieka sebagai teman. Aku kekeuh untuk mendekatinya karena, aku merasa, aku ditolak hanya karena aku belum bisa mengambil hatinya.

Pada suatu hari, aku diberi kabar oleh salah seorang sahabatku bahwa selama ini yang membalas SMS ku bukanlah Rieka, tetapi ibunya. Jadi, selama ini aku ber-SMS dengan ibu-ibu. Aku jadi semakin merasa bodoh.

Entah mengapa, susah sekali bagiku untuk move on waktu itu.

Selama dua semester pertama, entah mengapa nilaiku sangat buruk. Nilai teman-teman sekelasku juga banyak yang buruk. Mungkin karena kami baru beradaptasi dengan program akselerasi ini. 

Pada suatu hari, hasil ulangan Mandarin dibagikan. Semua teman-temanku sedih dan syok dengan nilai mereka. Aku pun berusaha untuk sok santai dan menyemangati mereka. Aku bilang bahwa ini masih tahun pertama, jadi mereka tidak perlu takut dan panik. Ajakan itu cukup membuat mereka semangat kembali.

Namun ketika aku berjalan ke bangkuku, aku melihat kertas ulanganku, tiba-tiba aku menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu mengapa aku bisa menangis. Sepertinya, usaha sok santai tadi adalah denial yang terpendam. Padahal, aslinya aku sama-sama syok seperti mereka.

Aku yang selalu merasa menjadi anak pintar, kali ini harus dihadapkan kenyataan bahwa aku tidak sepintar itu. Bahkan di kelas aku merasa yang paling bodoh. Aku tidak pernah menjadi yang paling bodoh di kelas sejak aku SD.

Ada satu kutipan yang cukup menghiburku saat itu, yaitu terkadang kita diposisikan oleh Tuhan di bawah bukan karena kita buruk. Namun justru karena Tuhan percaya kita cukup kuat untuk memikul beban itu. Karena pada akhirnya, akan selalu ada yang berada di posisi paling bawah.

"Aku di sini karena aku kuat. Aku harus kuat".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unlikely.

Apa Sih Alasan Pasien Dirujuk oleh Dokternya?

Cerita Masa Kecilku 4: Saat Dewasa Nanti | Blog