Dokter yang (Tidak) Baik Hati dan Kenyataan Pahit Dunia Kedokteran

Ibu saya sangat mengagumi sosok dokter sebagai sebuah profesi. 

Dua kakaknya merupakan seorang dokter dan satu lagi dokter gigi, sedangkan 3 orang lainnya bukan dokter. Bisa dibilang, dari tujuh bersaudara tersebut, ketiga dokter tersebutlah yang cenderung paling sukses. Tidak hanya kaya, tetapi hidupnya setelah dewasa pun cenderung mudah.

Kata ibu saya, pasien itu bisa sembuh hanya dengan 'bertemu' dengan dokternya. Kata-kata dokter yang baik dan perhatian entah mengapa bisa membuat kondisi pasien 10x lebih baik bahkan sebelum diobati. Dokter juga sosok yang dihormati di masyarakat, terutama karena profesinya mulia, yaitu mengobati orang lain.

Salah satu kakak dari ibu saya yang dokter tersebut pun sangat ingin semua keponakannya menjadi dokter, termasuk saya. Banyak yang dia ceritakan ke ibu saya tentang dunia kedokteran.

Singkat cerita, saya diterima di salah satu fakultas kedokteran di Indonesia. Setelah saya merasakannya sendiri, ternyata segala hal yang ibu saya katakan dulu sangat-sangat salah. Biar saya jelaskan.

1. Sukses
Dokter di Indonesia semakin banyak dan persaingan semakin ketat. Sudah menjadi rahasia umum di dunia kedokteran bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah meniti karir sampai tingkat yang paling tinggi. Biasanya yang orang tuanya dokter dan yang modalnya banyaklah yang jalannya lebih mulus untuk masuk spesialis ataupun menempati jabatan-jabatan penting di kedokteran.
Di kedokteran kita harus melewati banyak hal dulu, termasuk di antaranya menguasai buku-buku tebal, menghafalkan banyak istilah asing (latin), setelah lulus harus koas dan internship dulu selama total minimal 3 tahun, serta membiayai kuliah yang tidak murah. 

Bahkan banyak dokter yang mengakui bahwa menjadi dokter umum saja itu tidak cukup secara finansial. Jika kamu memutuskan untuk mengambil spesialis, maka kamu harus menjalani beratnya dunia kedokteran lagi seperti awal masuk kedokteran (bahkan bisa jadi lebih berat). Definisi sukses memang tidak sama bagi setiap orang, tetapi seharusnya kita bisa sepakat bahwa proses menjadi dokter itu tidak mudah.

Masih ingin mencari kesuksesan dengan menjadi dokter?

2. Kaya
Tidak semua dokter berakhir kaya raya. Banyak dokter yang rumahnya tidak megah dan pendapatannya hanya cukup untuk memiliki kehidupan sederhana. Bukan hanya dokter yang hanya berakhir sebagai dokter umum dan dosen, tetapi juga beberapa dokter spesialis, karena tidak semua 'spesialis' setara derajatnya. 

Bahkan sejak hari pertama saya masuk kedokteran, saya sudah diingatkan bahwa jika ingin mencari kekayaan, maka jangan masuk kedokteran. Lebih baik terjun ke dunia bisnis saja. Karena di kedokteran kuliah kita akan lama lulusnya dan, sebagai dokter yang baik, pekerjaan kita berbentuk dedikasi. Justru kita tidak boleh mempertimbangkan uang dalam bekerja.

Memang kita bisa melihat banyak dokter yang dibayar besar. Namun dokter-dokter itu pun entah tersita banyak waktunya atau hal yang ia lakukan sangat beresiko menyebabkan pembunuhan dan dituntut di pengadilan. Bahkan tidak semua dokter yang pekerjaanya berat bisa menerima pendapatan yang besar.

Tidak seperti dulu, jumlah dokter di Indonesia semakin banyak. Persaingan pun menjadi semakin ketat dalam mendapatkan bayaran. Kini berkat sistem baru BPJS dan pelayanan kesehatan murah yang diberikan pemerintah kepada rakyat, entah bagaimana dokter mendapatkan upah jauh lebih rendah dari jaman dulu.

Jadi, apakah dokter merupakan pilihan yang tepat supaya bisa kaya?

3. Baik Hati
Kenyataanya, dokter itu tidak baik hati. Bukan, bukan karena setiap manusia berbeda-beda. Namun karena memang lingkungan yang terbangun dan komunitas yang di dalamnya memang tidak baik hati.

Di kedokteran kita tidak bicara dengan lembut dan pengertian antara satu sama lain. Dokter berbicara blak-blakan dan tanpa empati. Semakin jahat senior kepada junior, justru semakin baik supaya mental juniornya lebih kuat. Padahal walaupun pekerjaanya mempertaruhkan nyawa pasien, mental sering dihina tersebut tidak dibutuhkan kecuali untuk menghadapi senior-senior tersebut. Mental yang seharusnyta dibutuhkan seorang dokter selama bertugas adalah sosok bertanggung jawab, tegas, dan cekatan; bukan mental orang terinjak-injak yang menyimpan luka-luka penindasan.

Apakah dokter yang dididik seperti itu diharapkan untuk menjadi dokter yang baik hati?

4. Dihormati
Senioritas di kedokteran itu besar dan tidak sehat. 

Jika kamu seorang koas yang baru memiliki gelar s,ked (sarjana kedokteran), bahwa kamu tidak ada harganya. Kamu harus rela direndahkan secara verbal, disuruh-suruh seperti pembantu, berbicara dengan senior seperti majikan, disuruh menunggu berjam-jam mengikuti jadwal senior yang tidak peduli bahwa kamu juga punya kehidupan, dan lain sebagainya. 

Jika kamu dokter umum ataupun PPDS, maka kamu akan diperlakukan sama (bahkan bisa jadi lebih buruk), hanya bedanya sekarang kamu juga punya junior. Trauma yang telah dijalani bertahun-tahun pun harus dilampiaskan. Seringkali, korban pelampiasan tersebut adalah juniornya, sehingga menciptakan lingkaran perundungan yang tanpa henti. Tidak heran jika seorang dokter sangat menikmati jika mereka diagung-agungkan oleh masyarakat karena selama pendidikan dia seringkali tidak diperlakukan seperti manusia.

Tidak cukupkah dihargai dan dihormati sebagai sesama manusia?

5. Mulia
Dokter yang mendedikasikan dirinya untuk bekerja tanpa membeda-bedakan pasien itu pekerjaan mulia. Dokter yang bekerja di pedalaman tanpa fasilitas yang lengkap demi mengaplikasikan ilmunya itu pekerjaan mulia. Dokter yang menghabiskan waktunya untuk mengajar dan melakukan penelitian atas nama dunia sains itu pekerjaan mulia.

Namun beramai-ramai dokter sekarang meresepkan obat yang mahal karena dia disponsori oleh perusahaan. Dokter sekarang menangani pasien sekedarnya supaya cepat selesai dan supaya semakin banyak yang berobat. Dokter sekarang cepat lulus kuliahnya karena tahu caranya nyontek. Dokter sekarang hanya baik di depan pasien tetapi di belakang dia merundung bawahannya. Menjadi dokter itu bukan serta-merta kegiatan yang mulia.

Apapun pekerjaannya, jika niat dan tindakannya benar, maka pekerjaan tersebut adalah pekerjaan mulia.

Masih mau jadi dokter?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog