Memahami Transfobia dan Kris Taylor

Di mana posisiku mengenai perdebatan soal transgender?


Aku tidak setuju dengan orang yang mengganti kelamin yang ia dapatkan dari lahir. Ya, aku tidak setuju dengan transgender. Namun alasannya personal dan sebagian besar datang dari perspektif agama.

Namun aku juga tidak setuju dengan siapapun yang mencoba menyakiti para transgender ini, baik secara fisik maupun secara verbal. Aku percaya bahwa menyakiti dan main hakim sendiri adalah tindakan yang jahat dan tidak benar.

Di sisi lain, aku bisa memahami motivasi para transwoman ini ketika mereka bilang mereka tidak nyaman untuk menjadi laki-laki dan merasa bahwa mereka sebenarnya adalah wanita. Aku paham. Aku mengerti dan empati dengan apapun yang mereka pikirkan dan rasakan. Apakah aku setuju? Tidak. Apakah mereka berhak untuk hidup aman di dunia ini? Jelas iya.

Fenomena perpindahan gender Kris Taylor dari channel Youtube 'Mr. Beast' ini mengundang banyak kontroversi. Aku tidak suka betapa jahatnya para netizen dari dalam maupun luar negeri dalam menanggapi hal tersebut. Aku tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan, yaitu menuliskan komentar 'hate speech' di internet atau bahkan langsung ke DM personalnya Kris. Tidak ada alasan untuk membolehkan hal tersebut.

Banyak dari komentar jahat ini datang dari para laki-laki. Aku merasa mereka melakukan hal tersebut karena, sebagai laki-laki, mereka insecure. Mereka tidak nyaman dengan fakta bahwa ada laki-laki lain dalam hidup ini yang tidak nyaman menjadi seorang laki-laki dan 'cukup berani' untuk berubah menjadi seorang transwoman. 

Alasan lain kenapa mereka tidak setuju adalah karena mereka merasa yang paling benar. Mereka merasa bahwa menjadi laki-laki itu harusnya 'A' dan semua orang harus setuju dengan pendapatnya. Mereka tidak bisa mengendalikan ego mereka sehingga muncullah komentar-komentar yang jahat terlontar kepada Kris. Mereka kira hanya karena mereka benar, orang lain tidak boleh punya pendapat yang berbeda. Mereka gagal untuk menoleransi adanya perbedaan di dunia ini.

Walaupun aku juga tidak setuju dengan perubahan Kris, aku merasa tidak perlu melontarkan ketidaksetujuanku di publik tanpa konteks yang tepat, apalagi dengan cara yang jahat dan tidak baik.


Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan pendapatku soal kira-kira kenapa Kris dan banyak laki-laki lainnya merasa tidak nyaman berada dalam tubuh laki-laki.

Pastinya ada banyak alasan mengapa perasaan tersebut muncul, tetapi satu di antaranya adalah karena dunia ini masih mempunyai standar yang tidak tepat bagi laki-laki.

Banyak laki-laki yang tidak terlahir dengan suara berat dan badan yang mudah berotot. Banyak laki-laki yang tidak lahir dengan tendensi untuk melakukan angkat besi, olahraga berat, memanjat gunung,  ataupun aktivitas-aktivitas berat lainnya. Tidak semua laki-laki suka dengan film soal perkelahian, balapan, ledakan, dan segala macamnya. Sayangnya, mereka tidak punya tempat di dunia ini. Mereka bahkan dianggap kurang pantas untuk menjadi laki-laki.

Tekanan sosial maupun dikte media inilah yang menimbulkan rasa insecure di hati mereka. Mereka bingung ketika lebih suka Barbie daripada Power Rangers. Mereka bingung kenapa mereka punya rasa takut ketika mereka dituntut untuk menjadi seorang pelindung. Padahal Barbie hanya karakter fiksi yang sama sekali tidak menentukan jenis kelamin seseorang. Rasa takut pun perasaan yang wajar dimiliki oleh seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Ada banyak contoh tentang stereotip yang salah terhadap laki-laki, tetapi intinya semual tersebut membuat mereka insecure. Mereka pun mulai bertanya-tanya apakah seharusnya mereka terlahir sebagai perempuan? Walaupun menjadi perempuan itu sendiri bukan cuma soal memakai makeup, bertingkah centil, berkulit lembut, dan menjadi yang paling cantik. Semua hal tersebut hanya penampilan luar saja dan menjadi perempuan lebih dari itu.

Menurutku, setiap orang punya kadar maskulinitas dan kadar femininnya masing-masing, terlepas dari apa jenis kelamin mereka. Ada laki-laki yang kadar femininnya sama tingginya dengan kadar maskulinnya, ada yang maskulinnya lebih rendah, dan semua hal itu manusiawi. Hal itu tidak berarti bahwa alat kelaminmu salah tumbuh. Hal itu bukan alasan untuk serta merta mengubah identitas kelaminmu.

Jika seorang laki-laki merasa insecure dengan jenis kelaminnya, mungkin memang mereka harus mengenali lebih dalam mengenai sisi femininnya. Mungkin mereka harus mengeksplor sisi femininnya dan mencari tahu sebenarnya mereka ingin menjadi laki-laki seperti apa. Mereka tidak perlu mengikuti laki-laki lain kalau tidak sesuai dengan mereka. Setiap orang itu unik dan kita berhak menjadi diri sendiri. 

Tidak ada salahnya menjadi laki-laki lembut, laki-laki yang suka merawat diri, ataupun laki-laki yang suka warna merah muda. Hanya karena seseorang suka warna biru/merah/hitam tidak akan membuat mereka laki-laki juga kan?

Tidak ada salahnya menjadi laki-laki yang kadar femininnya tinggi. Mungkin justru dengan hal itu kamu jadi bisa memahami dan memperlakukan perempuan menjadi lebih baik? Bahkan mungkin dengan hal tersebut kamu jadi lebih bisa memahami laki-laki lain!

Insecurity dan kurangnya eksplorasi mengenai sisi maskulin dan feminin di dalam diri bisa jadi dua hal di antara banyak hal yang, secara tidak sadar, memicu seorang laki-laki berubah menjadi seorang transwoman. Perlu diingat bahwa ketidakmampuan mereka tersebut sama sekali bukan sama mereka.

Ya jelas mereka jadi lebih bahagia ketika mereka akhirnya berubah gender; karena mereka akhirnya lepas dari kebingungan tersebut dan mengambil jalan pintas. Namun aku pribadi merasa bahwa mereka tidak diciptakan untuk berubah.

Kita diciptakan untuk mengenali diri sendiri, menerima dan ikhlas dengan apa yang kita punya, serta kalau bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Dan versi terbaik itu juga termasuk menjadi laki-laki yang tidak main hakim sendiri hanya karena ada orang lain yang memutuskan untuk mengganti jenis kelaminnya.

Can you be the real man?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog