Identitas Baru - Cerpen

Identitas Baru
cerpen oleh ahn

Aku membuka mataku dan melihat diriku sendiri di cermin. "Wah..... Tampan sekali aku," bisikku dalam hati. Kuperhatikan tatapan mataku yang dalam, alis yang tebal, jambang yang panjang, kumis yang rapi, serta janggut yang hampir menutupi seluruh rahang dan daguku.

"Orang bilang, memuji diri sendiri di depan cermin di pagi hari bisa mempengaruhi performa kita hari itu," kataku sambil melihat dalam ke balik mataku. Kemudian terlintas memori hari-hariku saat mengalami depresi. Aku tidak mau merasakannya lagi.

"Namun haruskah aku mencoba untuk tersenyum?" tiba-tiba mulutku rasanya kaku, "Aku tidak pernah tahu caranya tersenyum," perlahan kutarik kedua ujung bibirku. Namun bukan keceriaan yang kulihat, melainkan ekspresi licik seolah ada intensi jahat di baliknya, yang membuatku langsung berhenti tersenyum.

"Hmm... Kita akan coba lagi lain kali," kataku dengan grogi, sebelum akhirnya aku mempersiapkan diriku untuk ke kampus. Aku tidak ingin terlambat. Tidak di hari yang baru ini.


Tidak butuh waktu lama untuk akhirnya aku sampai di depan kampusku.

Aku melihat gedungnya yang tinggi dan mewah. Banyak mahasiswa yang berjalan dengan tas di pundak memasuki ruangan kelas mereka masing-masing. Mereka semua berjalan dengan yakin, begitu pula aku. Aku sudah tahu harus ke kelas mana pagi ini.

Di depan ruang kelas, kulihat banyak mahasiswa. Aku ingin sekali punya banyak teman untuk diajak ngobrol, tetapi aku tidak berani menyapa mereka duluan. Takut disangka aneh. Dengan menjaga imej, aku berjalan menuju salah satu bangku yang kosong.

Bangku tersebut bukan bangku biasa karena, begitu aku masuk ke dalam kelas, aku melihat wanita tercantik yang ada di ruangan ini. "Tidak ada salahnya duduk di sampingnya, kan?" tanyaku pada diriku sendiri.

Wanita tersebut sedang bermain dengan hapenya, sehingga aku pun harus menepuk bahunya. "Permisi, kursi ini kosong?"
"Ohh..." dia berbalik sampil menatapku dengan berbinar, seolah dia terpesona melihatku. Aku bisa merasakannya. "Iya, kosong kok, Tim," jawabnya sambil menyebut namaku.
Aku pun duduk di sampingnya dengan percaya diri. Sepertinya efek berbicara dengan diri sendiri di depan cermin pagi tadi tadi mulai bekerja.

Aku pun memberanikan diri untuk berbicara dengannya. Dia menjawab dengan cukup ramah. Aku berusaha berbicara sesantai mungkin supaya aku tidak terlihat gugup. 

Aku tidak percaya bahwa kita berdua berbincang seolah-olah kita sudah akrab sebelumnya. "Atau mungkin selama ini dia sudah menganggapku sebagai teman dekat?" tanyaku penasaran kepada diriku sendiri.

"Timmy, sori, rasanya kamu kok beda ya hari ini?" tanya wanita tersebut di tengah percakapan kami.
"Oh ya? Hmm... Mungkin karena memang pagi ini aku melakukan ritual supaya lebih semangat sih. Dan sepertinya berhasil," jawabku.
"Oooh... Tapi-?" ia tidak melanjutkan kalimatnya, yang mana membuatku menjadi merasa tidak nyaman.
"Tapi apa?" tanyaku.
"Iya sih kamu kelihatan semangat, tapi rasanya aku kayak bicara sama orang lain....." jawabnya ragu. Aku belum sempat merespon sebelum akhirnya dia meminta maaf telah mengatakan tersebut. Aku tertawa untuk mencairkan suasana. Kita pun kembali bercanda berdua.
"Mungkin cuma perasaanmu aja," jawabku di akhir percakapan. 

Seusai kuliah selesai, aku mencoba mengajakanya berbicara lagi. "Eh, kamu paham nggak tadi yang dikuliahin?" tanyaku.
"Ya, lumayan sih. Kenapa?" tanyanya.
"Aku boleh nggak tanya-tanya kamu buat ngerjain tugas di rumah? Aku gak paham..."
Dia tersenyum, "Minta diajarin ta? Oh iya, nggak apa-apa," jawabnya.
"Aku minta nomermu ya?" mintaku dengan mulus.
Dia pun memberikan nomernya padaku. Sebelum aku simpan, dengan hati-hati kubertanya,"Sori nama lengkapmu siapa?"
Tanpa sadar aku tersenyum ketika akhirnya aku tahu namanya.


Setelah jadwal hari ini berakhir, aku langsung pulang ke apartemen dengan semangat. "Hari ini berjalan sangat lancar! Jadi begini rasanya benar-benar hidup?!" kataku antusias. 

Aku membuka kunci pintu dan segera menutupnya rapat-rapat, sebelum masuk ke kamar. Di balik pintu kamar, ada sebuah robot berkarat berdiri di sudut ruangan. Ada sedikit bercak darah di sana-sini yang harusnya aku bersihkan. Tatapan matanya kosong seolah tidak ada nyawa di dalamnya. Mati. 

Kemudian ada dorongan untuk membuka dompetku. Kuambil KTP baruku dan kulihat nama depannya: 'Timmy'.

"Memang tidak salah aku memilihmu untuk menjadi identitas baruku," kataku. Ah, tanpa sadar aku melihat bayanganku di dalam cermin. Dia tersenyum...


Senyuman jahat itu lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog