MIMPI BURUK BERNAMA KEDOKTERAN - BLOG

Setiap hari aku harus bangun pagi-pagi sekali.

Ku membuka mata dengan mode siap berperang. Siap menghadapi apapun yang akan terjadi hari itu. 

Tak sempat bernafas, aku langsung beranjak. Memaksa memasukkan sarapan ketika aku tidak lapar. Memaksa menghadapi dinginnya air meskipun aku tidak gerah. Semua itu kulakukan karena aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Jarak kampus sangat jauh dari rumahku, belum termasuk menghindari kemungkinan macet. Badanku bergerak sebelum nyawaku, demi tidak terlambat datang untuk kuliah.

Setiap hari aku bertemu dengan orang-orang yang mempunyai minat yang berbeda. Aku berada di antara gerombolan yang tidak selaras dengan apa yang ada di kepala. Ketika mereka menikmati membahas kedokteran, aku hanya bisa terbengong tanpa harus menjawab apa. Aku tidak menguasai topiknya. Lebih parahnya lagi, aku punya skill bersosialisasi yang sangat rendah.

Dan karena semasa SMA aku lulus dengan akselerasi, semua teman seangkatanku adalah kakak kelasku. Aku tidak nyaman harus bersopan hormat dengan semua orang. Aku hanya ingin teman biasa. Teman sebaya. Teman yang bisa menyamai tingkat kedewasaanku.

Berjalan di lorong gedung kedokteran sama sekali tidak membantu. Di antara bangunan Belanda yang megah, kanan-kiriku dipenuhi oleh orang-orang yang mempunyai minat yang berbeda. Aku tidak bisa mendekat. Aku tidak bisa menikmati. Aku merasa asing. Aku takut. Aku takut jika aku mendekat, aku akan tampak bodoh. Aku takut mereka tidak menyukaiku. Aku takut menyiksa hatiku sendiri dengan membuatnya tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka.

Setidaknya aku bisa fokus belajar saja, pikirku. Toh aku bukan anak bodoh. Belajar pasti menyenangkan! Itu yang kupikirkan sebelum aku menghadapi kenyataan yang ada di dalam kelas. Dari bangku paling belakang, aku mendengarkan dosen yang mengajarkan sesuatu yang sangat membosankan. Sangat lamban. Sangat tidak penting. Dengan cara yang sangat tidak efektif sampai membuat pikiranku hilang melayang. 

Slide demi slide terlewati tanpa aku pahami maksudnya. Aku tidak bisa menangkap apa yang diterangkan. Ini bukan duniaku! Logika otakku benar-benar tidak menguasai medan pelajaran yang asing ini. Tidak akan bisa!

Pikiranku memasuki perjalanan akan masa depan, akan rencanaku bayang-bayang kehidupan yang harus kuhadapi di depan. Mau jadi apa aku jika tidak dapat memahami pelajaran seperti ini? Mau jadi dokter seperti apa aku jika tidak mampu mengenali penyakit yang diderita pasien-pasienku nanti? Akankah aku menjadi penjahat, menyuntikkan obat yang salah yang akan mengancam banyak jiwa manusia alih-alih menolong mereka?

Mengapa juga aku memilih jurusan ini? Pasti itu pertanyaan semua orang.

Pikiranku beralih ke masa laluku yang bodoh. Momen di depan layar komputer, di mana aku terpaksa memilih opsi jurusan kedokteran karena keinginan orang tua. Memori mengenai masa lalu tersebut diselimuti oleh penyesalan. Menyesal karena aku tidak berani memperjuangkan jurusan yang sebenarnya aku inginkan. 

Kalau saja aku yakin akan pilihan jurusanku... Kalau saja aku berusaha untuk meyakinkan orang tuaku sampai akhir... Kalau saja aku lebih percaya diri saat SMA... Kalau saja... Kalau saja...

Sebelum kusadari, kelas telah berakhir. Pelajaran yang tidak kumengerti tadi ternyata hanya akan dikuliahkan sekali. Tidak akan ada penjelasan sekali lagi di kelas berikutnya. Satu kali, terakhir. Dan aku berakhir tidak mengerti. Dan kalian mengira aku tidak berusaha belajar sendiri dengan buku-buku yang kupunya. Namun memahami semuanya sendiri lebih susah daripada kedengarannya.

Kegiatan di luar perkuliahan pun bukan pilihan. Semuanya masih berkaitan dengan dunia kedokteran. Kedokteran semua, kedokteran semua. Masih dengan rasa asing yang sama. Masih dengan ketidakmampuan yang sama.

Sore harinya, aku meninggalkan kampusku sendirian. Menghadapi jalan raya yang padat tanpa ditemani siapa-siapa. Perjalanan dengan motorku yang panjang dan melelahkan. Pulang saja aku masih harus berjuang agar tidak mati kecelakaan di tengah jalan. Pulang saja aku harus tetap waspada...

Sesampainya di rumah aku mengurung diri di kamar. Dengan ibu yang tidak mengerti mimpiku dan dengan ayah yang juga lelah dan selalu marah-marah karena pekerjaannya. Aku hanya keluar hanya jika waktunya makan, atau harus ke kamar mandi. Aku terkurung di ruangan yang panas dan dengan pencahayaan yang redup. Dinding-dinding kamar yang tidak luas selalu memberiku tekanan. Dilema untuk mengambil buku yang tidak kusuka dan mempelajarinya, atau membiarkan jiwaku istirahat sejenak dari perang yang telah kulalui hari ini.

Dan perang batin itu tidak pernah berhenti sampai tenggelamnya matahari.
Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang bisa diajak berdiskusi.

Dan ketika aku kembali membuka mata esok hari, aku harus siap berperang lagi. Dengan semangat perjuangan yang tersisa... Demi menyalakan mode waspada hari berikutnya... Mengulangi rutinitas yang sama sekali lagi. Dengan masa depan yang tak pasti, dengan tujuan yang tidak bisa kumengerti.

Kegagalan-kegagalan yang datang akhirnya membuktikan bahwa perjuanganku menghadapi semua itu sia-sia. Remidi maupun mundur tahun pun tak bisa dihindari... Aku tahu dunia dewasa berarti berani menghadapi apa yang sebenarnya tidak mau kita hadapi. Namun haruskah aku menghabiskan sisa hidupku seperti ini? 

Lucunya ketika aku bangun pagi ini, kukira aku harus masih mengalami semua itu lagi. Aku bernafas lega ketika tahu bahwa aku hanya sedang bermimpi.

Sebuah mimpi buruk bernama Kedokteran...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog