N9NE YEARS OLD
TWEN2-5IVE: PART ONE
N9NE YEARS OLD
Semua
berawal di saat kepengurusan yayasan SD-ku terpecah belah. Saat aku kelas 3, SD
Al-Falah Tropodo I terbagi dua, As-Salam dan Darussalam. Kedua sekolah tersebut memutuskan untuk
memegang pengelolaan masing-masing secara mandiri. Setidaknya itu yang kutangkap
oleh otak anak SD-ku. Menurut beberapa wali murid siswa Tropodo I As-Salam (termasuk
mamaku), guru-guru terbaik mereka banyak yang pindah ke Tropodo II Darussalam. Juga,
waktu itu belum ada siswa kelas 3 di sekolah tersebut. Alhasil di pertengahan
kelas 3, sekitar 20—30 siswa cowok As-Salam pindah ke SD Al-Falah yang lebih
kecil dan cenderung baru, yaitu Darussalam.
Aku
memulai kehidupan di sekolah baruku dengan kelas penuh dengan anak cowok tanpa
siswa cewek di angkatan kami. Aku yang rangkingnya selalu naik sejak kelas 1
SD, di kelas baruku ini tiba-tiba menduduki rangking pertama. Aku pun mendapat
imej anak paling pintar di antara teman sekelas, guru-guru, dan wali murid.
Bukan cuma karena kutu buku, tapi karena memang pembawaanku yang serius, kaku, rapi,
dan pendiam.
Tahun
itu, dengan bangganya aku menjadi ketua kelas. Aku mengelola arsip kelas (baca:
absen) dengan sangat rapi, tetapi tidak terlalu baik dalam menenangkan kelas
yang penuh dengan cowok tersebut.
Di
antara mereka, aku salah satu dari sedikit anak yang tidak suka main bola. Aku
bukannya tidak tertarik, tapi aku tidak tahu banyak soal bola, agak takut
dengan bola, serta mudah lelah saat main bola. Alhasil, mereka sering menempatkanku di posisi
yang tidak penting di lapangan, yaitu bagian bek. Itupun kalau masih diizinkan main bola.
Pernah suatu hari, karena kesal, aku membeli bola sendiri dan membawanya ke sekolah. Lalu aku mengumpulkan teman-temanku yang kuanggap baik dan mengajak mereka main bola di taman bermain sekolah alih-alih lapangan sepak bola yang dipakai anak yang jago sepak bola. Kami, anak-anak cupu ini, akhirnya berhasil main bola tanpa takut di-judge! Sayangnya, hal itu hanya bertahan satu hari saja. Keesokan harinya, bola yang kubeli dipinjam oleh anak-anak pemain sepak bola dan tidak dikembalikan selamanya.
Pernah suatu hari, karena kesal, aku membeli bola sendiri dan membawanya ke sekolah. Lalu aku mengumpulkan teman-temanku yang kuanggap baik dan mengajak mereka main bola di taman bermain sekolah alih-alih lapangan sepak bola yang dipakai anak yang jago sepak bola. Kami, anak-anak cupu ini, akhirnya berhasil main bola tanpa takut di-judge! Sayangnya, hal itu hanya bertahan satu hari saja. Keesokan harinya, bola yang kubeli dipinjam oleh anak-anak pemain sepak bola dan tidak dikembalikan selamanya.
Komentar
Posting Komentar