Pentingnya Edukasi Maskulinitas Bagi Anak Laki-Laki
'Toxic masculinity' bukanlah hal yang baru. Pada tulisan saya di Instagram beberapa hari yang lalu, sudah banyak saya singgung mengenai hal ini. Intinya, beberapa pria memiliki sikap yang tidak baik hanya karena mereka tidak benar-benar memahami konsep ideal soal bagaimana menjadi seorang pria yang benar. Pada penelitian Kupers tahun 2005, sikap arogansi dan dominan yang tidak pada tempatnya diduga menghalangi proses psikoterapi. Toxic masculinity bukanlah hal yang bisa kita abaikan begitu saja, terutama pada generasi di mana gerakan kesetaraan gender lebih membahas kaum wanita daripada lawan jenisnya.
Lemahnya Konsep Maskulinitas Terutama di Indonesia
Negara kita sendiri mempunyai seorang tokoh ‘emansipasi’ terkenal bernama R. A. Kartini. Melalui bukunya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, beliau menyuarakan suara kaum wanita yang waktu itu tertindas di bawah bayang-bayang kaum pria. Menurut studi hermeneutika oleh Cita Mustikawati, Kartini menginginkan wanita untuk bebas dan mandiri. Sebagai wanita, ia ingin diberi kesempatan mengenyam pendidikan di bangku sekolah yang, pada tahun 1980-an, hanyalah terbatas pada pria dan wanita kaum elit. Terbayangkah kalian betapa ‘brutalnya’ hal tersebut? Mungkinkah pada jaman itu, kaum pria pun masih sulit mendefinisikan peran gendernya di sosial yang sehat, adil, dan ‘non-toxic’?
Anak perempuan jaman sekarang tumbuh dengan baik. Mereka mempunyai teladan, seperti R. A. Kartini, bagaimana menjadi wanita yang tidak hanya lembut, tetapi juga tegas dan berani. Hal ini belum termasuk berbagai gerakan feminis modern yang semua tujuannya sama, mengedukasi seorang anak perempuan untuk menjadi wanita sejati. Ide ini merupakan kausa dari penindasan kaum wanita selama berabad-abad. Namun bukan berarti kaum pria yang tidak pernah tertindas telah mendapatkan inspirasi yang cukup untuk menanggapi maskulinitasnya. Tokoh-tokoh pria Genghis Khan atau Ir. Soekarno mengajarkan ‘hanya sebagian’ dari konsep maskulinitas yang perlu diketahui seorang anak laki-laki. Sikap apa yang membuat seorang Einstein, Gandhi, Bill Gates dan tokoh-tokoh lainnya sukses? Pembahasan mengenai isu ini masih jarang dan belum merata ke segala kalangan. Seorang anak laki-laki mungkin sudah punya opsi idola yang cukup, tetapi konsep maskulinitas itu sendiri masih “mengawang-awang”. Belum ada konsep maskulinitas yang jelas dan sehat yang bisa diadaptasi oleh setiap anak laki-laki di Indonesia, bahkan seluruh dunia.
Menurut Sigmund Freud dalam Teori Perkembangan Psikoseksual-nya, pada usia 3—5 tahun setiap anak laki-laki mengalami konsep bernama 'Oedipus complex'. Dijelaskan oleh Saul MecLeod, pada usia tersebut seorang anak laki-laki mulai merasa “tertarik” dengan ibunya dan menganggap ayahnya saingan. Ia pun mulai melakukan proses ‘identifikasi’, yaitu mulai menirukan sikap dan perilaku maskulinitas ayahnya. Artinya, edukasi mengenai maskulinitas adalah sesuatu yang berlangsung secara turun-temurun. Jika sang ayah mempunyai sikap maskulinitas yang tidak sehat, maka anaknya akan meneruskan hal tersebut. Bahayanya lagi, proses ini terjadi sejak usia yang sangat belia.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
12 Sifat Maskulinitas yang Harus Diajarkan Kepada Anak Kita
Lingkaran setan ini harus kita putus. Seorang calon ayah harus mulai sadar dengan sikapnya sebagai pria. Tidak cukup dengan hal tersebut, sedari kecil seorang anak laki-laki baiknya diajarkan bagaimana tumbuh menjadi seorang pria yang baik. Ada beberapa sifat yang membedakan pria dan wanita. Menurut John Gray dalam buku terbarunya ‘Beyond Mars and Venus’, ia merumuskan 12 sifat maskulinitas yang ada pada pria. Sifat-sifat berikut ini sudah sering kita dengan, tapi sedikit yang tahu bagaimana mengontrolnya dengan baik. Apakah sajakah sifat tersebut dan bagaimana cara mengimbanginya?
Independen
Seorang pria mempunyai kecenderungan untuk hidup mandiri. Mereka suka kesendirian dan menyelesakan semuanya sendiri. Namun seorang pria juga harus ingat bahwa mereka hidup di dunia sosial di mana kita tidak bisa hidup sendiri. Hidup seorang manusia pasti bersinggungan dengan orang lain. Alangkah baiknya jika anak kita mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain pada setiap pengambilan keputusan yang ia buat. Di satu sisi, ajari anak kita bahwa sangat penting untuk menjadi sosok yang mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Egois adalah bentuk toxic dari sifat maskulinitas ini.
Tenang dan Tidak Terpancing Emosi
Berbeda dengan femininitas yang membuat seseorang cenderung perasa, maskulinitas membuat seseorang menjaga jaraknya dengan emosi. Saat dihadapkan dengan masalah, secara ototmatis ia menetralisir perasaannya. Dia berusaha tenang dan melihat masalah tersebut tanpa embel apa-apa. Hal ini baik karena membuat ktia dapat berpikir lebih jernih dan obyektif, tanpa bias oleh apa yang kita rasakan. Namun harus diingat, insensitivas yang muncul tiba-tiba (atau terlalu sering) juga tidak baik. Pastikan orang-orang di sekitar tetap merasa nyaman dengan kita. Kita harus ingat untuk tetap bersikap ramah dan sopan terhadap mereka jika diperlukan. Tanpa emosi bukan berarti kita tidak peduli dengan perasaan orang lain dan memperlakukan mereka dengan seenaknya.
Optimis sebagai Sang Pemecah Masalah
Maskulinitas membuat seseorang menjadi terampil dalam memecahkan masalah. Mereka akan fokus terhadap apa yang harus diselesaikan alih-alih mencoba menyalahkan satu pihak. Namun tidak semua kondisi perlu pemecahan masalah. Mendikte seseorang apa yang harus mereka lakukan tanpa diminta bukanlah hal yang baik. Terkadang cukup diam dan mendengarkan sudah cukup saat seseorang berbagi keluh-kesahnya dengan kita. Ingat, “diam itu emas”!
Tangguh dan Pekerja Keras
Seorang pria bukanlah sosok yang mudah menyerah dan malas. Pria sejati tangguh dalam menghadapi masalah dan tidak takut untuk menghabiskan waktu dan energinya demi bekerja untuk kebaikan. Namun harus dipahami bahwa tidak ada yang sempurna. Tidak ada pria yang 100% lebih tangguh daripada pria yang lain. Anak kita harus bisa menerima kekurangan dan menghargai kelebihan masing-masing. Juga, selain untuk bekerja, waktu untuk hal lain juga penting, contohnya seperti keluarga, sosial, ibadah, dan relaksasi.
Kompetitif
Mirip seperti sifat sebelumnya, seorang pria bangga jika ia menjadi seorang pemenang. Kompetitif tentunya motivasi yang baik untuk mengejar apa yang kita inginkan. Ajari anak kita untuk mengarahkan insting kompetitif ini terhadap kebaikan dan dengan cara yang baik. Ajarkan mereka bahwa kekalahan bukan berarti mereka gagal. Mereka juga harus sportif dan menerima konsep kalah-menang.
Logis, Analitik, dan Insting Seorang Pengamat
Seorang pria butuh mendengar komentar suportif mengenai ide dan hasil analisanya, seperti, “Itu gagasan yang bagus!” atau “Kau benar!” Secara umum, pria suka mengamati area di sekitarnya dan menyimpulkan apa yang ia dapat. Begitulah cara mereka belajar. Seorang pria harus paham bahwa logika dan analisanya bisa saja salah. Ia tidak bisa selalu benar. Terutama ketika marah, terkadang seorang anak harus mengalah daripada mereka memaksakan kehendaknya hanya karena mereka yakin mereka benar. Benar tidak selalu harus menang. Terkadang yang mengalah yang menang.
Dapat Diandalkan
Tidak bisa dipungkiri, pria suka melindungi dan membantu orang-orang yang mereka peduli. Niat baik terkadang terhalang oleh kebatasan kita. Ketika seorang pria tidak bisa diandalkan pada suatu masalah tertentu, bukan berarti ia harus kehilangan kepercayaan dirinya. Hal itu menunjukkan bahwa setiap orang spesial dan punya kelebihannya masing-masing. Bimbing anak kita untuk menemukan panggilan dan tujuan hidupnya dalam memanifestasikan sifat maskulinitas ini terhadap kebaikan.
Tegas tapi Tidak Jahat
Sifat yang satu ini cukup menarik dan seringkali membuat seorang pria bersikap “brengsek”. Mereka lupa bahwa ‘tegas’ tidak harus selalu diiringi dengan ‘marah’. Tegas bukan berarti kasar, arogan, dan bertindak seenaknya. Tegas juga bukan berarti keras kepala. Sosok yang demokratis dan mau mempertimbangkan pendapat orang lain juga salah satu bentuk ketegasan yang anak kita bisa pelajari.
Kompeten
Berprestasi dalam olahraga, mampu menjadi ketua kelompok, sampai dapat memperbaiki mobilnya sendiri saat mogok di jalan. Dari dulu pria belajar bahwa mereka harus mengejarkan semuanya sendiri. Maskulinitas memang menuntut mereka untuk bisa dalam banyak hal, tetapi tidak ‘segala’ hal. Masing-masing punya specialty-nya masing-masing. Bahkan banyak pebisnis berprinsip bahwa orang pintar cenderung bekerja terhadap orang yang cerdas. Seorang pria tidak hanya harus kompeten, tetapi tahu cara memanfaatkannya di samping saling menghargai kompetensi masing-masing.
Percaya Diri
Mayoritas anak laki-laki percaya bahwa diri mereka spesial. Sebagian dari mereka tumbuh tanpa apresiasi yang cukup pada hal-hal yang telah dilakukannya. Sebagian lagi kehilangan kepercayaan dirinya karena terlahir “berbeda”. Sebagian anak tidak “semaskulin” teman-temannya. Ia tidak suka menonton acara olahraga, game berkelahi, ataupun berpetualang naik sepeda jauh dari rumah. Mereka lebih suka membereskan rumah, memasak, berbincang dengan keluarganya, ataupun bermain peran dengan mainan dan boneka mereka. Apakah hal ini salah? Selama anak kita masih memiliki sifat maskulinitas lainnya, ia harus percaya diri bahwa ia bisa menjadi pria sejati. Pria tidak harus setiap saat tampak maskulin. Pria dan sisi femininnnya bukanlah suatu kekurangan, melainkan suatu kelebihan.
Bertanggung Jawab
Salah satu sifat maskulinitas yang paling penting adalah kecenderungan seorang pria untuk bertanggung jawab. Suatu saat nanti, anak kita mungkin akan membuat beberapa kesalahan dalam hidupnya. Ajarkan pada mereka bahwa lari dan bersembunyi bukanlah sikap yang tepat. Seorang pria harus bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapannya, bahkan ketika masalah tersebut bukan disebabkan oleh dirinya sendiri. Seorang pria sejati bisa menetralisir emosinya, menganalisa situasi, dan dengan tegas memutuskan apa yang harus dilakukan. Sikap apa yang akan harus kita tunjukkan ketika problema melanda? Itulah yang namanya bertanggung jawab.
Goal-Oriented
Secara umum, sisi feminin wanita membuat mereka menjadi relationship-oriented. Artinya mereka memecahkan masalah yang dapat menguntungkan semua orang. Pemecahan masalah harus adil dan tidak ada yang dirugikan. Hal ini berbeda dengan insting maskulin. Seorang pria lebih berfokus untuk mencapai apa yang diinginkannya. Sisi maskulin kita mengerti bahwa tidak semua orang bisa dipuaskan, sehingga lebih baik kita fokus terhadap tujuan akhir dalam sebuah masalah. Sejak dini, anak kita harus diajarkan untuk menyelesaikan hal yang kita sudah mulai. Serta dalam perjalanannya, kita harus berhati-hati untuk tidak merugikan orang lain. Ajarkan mereka untuk menilai situasi dan menentukan mana hal yang harus diprioritaskan.
Demi Masa Depan Maskulinitas Dunia
Bukan jamannya lagi seorang pria tumbuh dewasa dan belajar mengenai dirinya sendiri tanpa ada pegangan (bahkan ketika , ironisnya, ‘mandiri’ merupakan salah satu aspek maskulinitas). 'Non-toxic masculinity' bukan hanya menjadi isu yang hangat, tetapi juga penting untuk mendapatkan sorotan masyarakat. Dampaknya nyata pada kehidupan kita sehari-hari. Ketidakpedulian terhadap problema ini sama saja dengan ketidakpedulian kita terhadap masa depan anak kita.
Gerakan aktif kaum feminis tidak akan bekerja jika tidak diimbangi dengan edukasi mengenai maskulinitas. Bisa jadi, dengan skenario terburuk, suatu hari nanti terbalik wanita yang akan menindas kaum pria. Atau justru hal kita paling tidak inginkan: Pria kembali menindas wanita dengan cara baru yang kita tidak diduga. Di dunia milenial dengan perubahan yang sangat cepat terjadi, hal tersebut bukannya tidak mungkin kan?
Gray, John. 2017. Beyond Mars and Venus: Relationship Skills for Today’s Complex World. Folio Literary Management, LLC, and Grayhawk Agency, pp.134-138.
Kupers, T.A., 2005. Toxic masculinity as a barrier to mental health treatment in prison. Journal of clinical psychology, 61(6), pp.713-724.
McLeod, S. A. 2019. Psychosexual stages. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/psychosexual.html
McLeod, S. A. 2019. Psychosexual stages. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/psychosexual.html
Mustikawati, C., 2015. Pemahaman Emansipasi Wanita. Jurnal kajian komunikasi, 3(1), pp.65-70.
Komentar
Posting Komentar