Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog


Kami harus mulai mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional sejak semester 4. Aku sudah lama tidak mengikuti ekstrakulikuler karena ingin lebih fokus belajar. Apalagi karena aku merasa tertinggal dibandingkan teman-teman sekelas. Mayoritas dari mereka bahkan tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun dan lebih memilih untuk belajar.

Pelajaran favoritku waktu itu jelas Bahasa Indonesia. Namun, pelajaran Sosiologi juga cukup menarik perhatianku waktu itu. Kelas kami sendiri waktu itu otomatis masuk jurusan IPA. 

Seperti biasa, aku buruk dalam pelajaran Olahraga. Aku selalu kelelahan saat berlari dan selalu sampai paling akhir. Suatu kali, aku tidak mengikuti pelajaran Olahraga dan menangis di pinggir lapangan. Waktu itu, aku merasa guruku tidak peduli denganku saking buruknya aku pada pelajaran tersebut. Padahal, pikiran tersebut hanyalah asumsiku sendiri.

Aku juga merasa sangat kesulitan untuk mengikuti pelajaran Fisika dan Kimia. Aku sangat kesal karena di kelas guru-guruku mengajar terlalu cepat. Mereka sudah loncat ke topik berikutnya hanya karena siswa-siswa yang pintar sudah langsung paham. Mereka tidak mengecek ulang apakah semua siswa sudah benar-benar paham.

Pada suatu hari di laboratorium Fisika, aku bersikap sangat aneh. Saat guruku sedang menjelaskan, aku sibuk sendiri dengan buku tulisku. Aku menggambar banyak sekali gambar emoji tersenyum. Tiba-tiba tanpa alasan tiba-tiba aku menangis. Aku pun keluar dari lab, berlari ke kamar mandi. Temanku Naufal dan Syaiful menyusulku. Syaiful mencoba menenangkanku dan bertanya aku kenapa. Aku juga tidak tahu.

Mungkin kegundahan selama SMA bertahun-tahun yang kupendam tiba-tiba pecah seperti balon. Perasaan sedih dan frustasi tersebut pecah dalam bentuk tangisan yang tak tertahankan. Aku merasa gagal. Aku gagal secara akademik, pergaulan, percintaan, dan dari banyak aspek lainnya.

Seusai pelajaran, teman-teman cewek di kelas membuat lingkaran dan mengajakku berdiskusi mengenai apa yang terjadi tadi. Mereka peduli dan khawatir denganku. Setelah aku bercerita betapa mindernya aku, mereka pun menenangkanku. Ternyata, mereka juga kurang lebih merasakan hal yang sama. Mereka bahkan menawarkan diri supaya aku bisa curhat kepada mereka, atau kepada siapapun yang bisa kupercaya. Aku pun merasa sedikit lebih tenang.

Sejak saat itu, aku jadi lebih berani untuk curhat balik ke temanku. Teman curhat terbaikku waktu itu adalah Azmi dan Nova. Azmi sering kuajak curhat selama sepulang sekolah di bemo. Sedangkan, aku sering bercerita dengan Nova di kantin atau di tempat duduk depan kelas. Mereka berdua tahu perasaanku kepada Rahma dan membantuku merahasiakannya.

Pada saat Class Meeting, sekolahku mengadakan lomba pidato. Aku cukup bersemangat untuk mengikuti lomba tersebut. Aku memberikan yang terbaik dengan kepercayaan diri yang tinggi. Akhirnya, tidak saja aku juara satu, performaku dipuji oleh salah satu guru Bahasa Indonesia. Beliau menemuiku secara personal walaupun beliau tidak mengajar di kelasku.

Semakin dekat dengan Ujian Nasional, tekadku untuk rajin belajar semakin kuat. Sama seperti semangatku sewaktu kelas 3 SMP dahulu. Entah aku paham atau tidak, aku bertekad untuk terus belajar. Walaupun cara belajarku lambat, aku tetap terus belajar. Entah lulus atau tidak, setidaknya aku sudah memberikan yang terbaik. 

Aku memutuskan untuk ikut bimbel yang cukup populer diikuti oleh teman-teman di sekolahku. Aku hampir tidak pernah bolos, walaupun nilai try outku selalu jelek. Aku berusaha selalu optimis, walaupun berkali-kali teman-temanku lebih tahu banyak daripada aku.

Ibuku sendiri sangat ingin aku melanjutkan ke kedokteran. Saat itu, aku lebih ingin masuk jurusan lain, antara Sastra Indonesia atau Psikologi. Namun aku yang saat itu minder tidak berani berargumen dengan ibuku. Aku tidak bisa berjanji, jika aku memilih jurusan yang kuinginkan, aku bisa memastikan aku akan lebih sukses dibandingkan ketika aku mengikuti pilihannya. 

Maka dari itu, saat mengajukan diri untuk mengikuti jalur 'Undangan' (masuk kuliah tanpa tes), aku pun memilih Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Pada saat itu, Unair adalah kampus terbaik di Surabaya. Kriteria untuk lolos jalur Undangan adalah mempunyai nilai raport yang bagus dan mencantumkan maksimal 3 prestasi selama masa SMA.

Karena aku tidak punya prestasi apa-apa, aku memutuskan untuk mencari lomba menulis di internet. Aku pun mengikuti lomba menulis cerpen yang diadakan UPI, Bandung. Kurang lebih, aku menceritakan pengalamanku saat SMP dulu. Setelah beberapa minggu, juaranya pun diumumkan. Ternyata aku meraih juara 3! Aku sangat senang waktu itu. Akhirnya, aku bisa mencantumkan satu prestasi untuk mengikuti jalur Undangan. Aku pun menuliskan prestasiku sebagai 'Juara 3 Lomba Menulis Tingkat Nasional'.

Pada suatu hari, wali kelasku mengumumkan rangking nilai rapor kami. Untuk pertama kalinya seumur hidupku, aku berada di urutan nomor 3 dari bawah. Aku memang tidak berharap banyak, tetapi aku cukup syok waktu itu. Banyak dari teman sekelasku yang juga ingin masuk ke kampus yang sama denganku. Aku pun semakin pesimis untuk lolos jalur Undangan. 

Saat ujian praktek Agama Islam, guru agamaku waktu itu menginspirasiku untuk rajin sholat. Untuk pertama kalinya juga, aku pun mendisiplinkan diri untuk sholat. Azmi yang datang dari keluarga agamis pun cukup bisa menginspirasiku supaya lebih rajin sholat. Sesuai sholat, seringkali aku berdoa sama Allah SWT supaya aku diloloskan jalur Undangan. Aku takut tidak lulus kalau harus ujian tulis, sehingga aku ingin sekali bisa lulus undangan.

Di sekolah, kami mengikuti berbagai macam try out dan bimbingan dengan intense. Aku pun mengikuti dengan serius. Aku sudah tidak peduli dengan teman-temanku. Bagiku, ini adalah kompetisiku secara personal dengan soal ujian yang nantinya akan kuhadapi.

Setelah mengikuti ujian tulis dan ujian praktek sekolah, beserta serangkaian remedinya karena nilaiku jelek, akhirnya kami harus menghadapi ujian nasional. Berbeda dengan saat SMP dulu, kali ini aku tidak punya kunci jawaban yang bisa kucontek. Aku pun tidak lagi anak paling pintar di kelas. Aku bahkan tidak yakin bisa lulus sekolah, perasaan yang ternyata dialami banyak sekali siswa SMA pada masa itu, sebelum Unas dihapuskan.

Setelah mengerjakan ujian, aku pun berpasrah. Di tengah keputusasaanku, tiba-tiba muncul keajaiban. Saat pengumuman jalur Undangan, ternyata aku lolos pilihan pertama. Tanpa ujian, aku pun diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Aku sangat senang dan lega waktu itu. Aku merasa doaku terjawab. Aku pun mengambilnya karena tidak pede untuk mengikuti ujian tulis.

Aku juga lulus ujian nasional. Walaupun aku tidak jago Fisika dan Kimia, ternyata nilai keduanya cukup baik. Bahkan nilai Bahasa Inggris dan Indonesiaku tidak sebagus itu, padahal aku lebih percaya diri dengan kedua pelajaran tersebut. Semua ini karena aku mempelajari banyak sekali soal Kimia dan Fisika dan mulai mempelajari polanya. Aku sangat bersyukur waktu itu. Aku tidak menyangka ternyata aku bisa lulus juga.

Beberapa bulan kemudian, sekolahku mengadakan acara malam perpisahan untuk anak kelas 3. Walaupun aku junior mereka, aku bisa ikut lulus dengan mereka. Pada acara tersebut, aku menjadi bagian dari panitia Bidang Konsumsi.

Malam itu, aku memakai baju terbaikku. Pundakku terasa sangat ringan waktu itu. Walaupun aku tidak mendapatkan hati perempuan yang kusuka, aku bisa dengan bangga lulus dan diterima di kampus bergengsi.

Aku dan teman-teman cowok sekelasku pun berfoto bersama. Aku dan Gayo sudah berbaikan beberapa hari yang lalu. Aku memeluknya sambil menyelamatinya yang diterima di University Indonesia. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri untuk tidak iri dengan kesuksesan orang lain.

Setidaknya kini aku juga sukses pada jalanku sendiri.

"Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat di dalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan

Saat duka bersama, tawa bersama
Berpacu dalam prestasi, huh, hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
Di dalam api semangat yang tak mudah padam

Kuyakin kau pasti sama dengan diriku
Pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan, kau tahu, kawan, kau tahu, kan?
Beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan

Bergegaslah kawan 'tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman 'tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat, kita untuk selamanya"

(Bondan Prakoso and Fade 2 Black - Kita Selamanya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini