MY ONE BAD DAY

"All it takes is one bad day to reduce the sanest man alive to lunacy. That's how far the world is from where I am...




...Just one bad day."
- Joker (Batman: The Killing Joke - 2016)

Have you met your one bad day?

Mari kita bicara dari jiwa ke jiwa. 
Pada tahun 2018 lalu, tepatnya pada bulan Februari, aku berlibur ke Jakarta-Bandung-Bogor. Saat itu aku sedang menunggu wisuda kelulusan kuliah kedokteranku. Skripsi yang telah memenjarakanku selama 2 tahun itu akhirnya selesai juga. Jurusan terkutuk bersangkar indah itu hampir menemui akhirnya. Aku merasa di atas awan! Aku telah mengalahkan monster yang telah menyanderaku dari perjalanan mengejar mimpi dan memaksimalkan bakat-minatku. Aku tahu aku pintar dan berbakat, tetapi Monster Kedokteran sukses menyiksa mentalku sampai depresi paling gelap berhari-hari di dalam kamar tidurku tanpa bertemu dengan manusia manapun. Aku menang dan belajar banyak. Yang kulahkan bukan hanya egoku, namun juga logika, perasaan, dan harapan-harapan lamaku. Hari itu aku adalah Andika yang baru. Andika yang lebih bijak, lebih tenang, hasil dari sebuah penyiksaan yang membuahkan penerimaan akan sebuah kekalahan. Andika yang lebih bahagia.

Aku pergi sendirian dengan pesawat. Aku sudah terbiasa naik pesawat, tetapi aku tidak biasa meninggalkan kota lahirku. Aku lahir dan besar di sini sampai muak rasanya menyebutkan namanya. Aku tumbuh dengan percaya bahwa semua orang kaya dan terkenal tinggal di ibukota. Saat aku remaja, informasi bahwa Jakarta adalah tempat yang kejam membautku semakin tertantang untuk menaklukkannya. Bandung merupakan tipe wanita idealku saat itu. Bogor adalah kota tempat tinggal salah satu om-ku yang terkenal paling jenius sekaligus sukses, dengan anak laki-lakinya merupakan rivalku sejak kecil. Intinya ini adalah petualangan perdanaku mengunjungi 3 kota yang sudah lama aku idam-idamkan. Selama 5 tahun periode penyiksaanku di kedokteran, memang aku tidak pernah sempat liburan, apalagi pergi ke luar kota. Mungkin aku tidak ke luar negeri seperti yang dilakukan teman-teman sejawatku pada liburan mereka, tetapi perjalanan ini sangat sepadan.

Aku "disponsori" oleh om dan tante dari ibuku. Keduanya merupakan dokter sukses dan yang paling kaya dibandingkan saudara-saudaranya. Tante memberiku amplop tebal berisi bekal yang nominalnya sangat sangat cukup untuk bersenang-senang. Sedangkan di sana, aku akan ikut dengan om-ku sebagai bagian dari perjalanan bisnisnya. Om-ku ini adalah kambing hitam dari mengapa aku masuk ke kedokteran karena beliau berhasil "menginspirasi" ibuku dan saudara yang lain agar supaya semua anak mereka masuk di kedokteran membuat semacam 'jaringan kedokteran' dan semacamnya. Om freak yang diam-diam kubenci dan hanya ingin kumanfaatkan uangnya. Kami berpindah dari hotel berbintang satu ke hotel berbintang lain, yang bagi anak kampung sepertiku, merupakan suatu pengalaman yang sangat mewah dan tidak masuk akal. Aku ditraktir makan enak dan diberi kesempatan untuk berkeliling Jakarta.

Ya, awalnya aku sampai di Jakarta. Di sana aku hangout dengan sahabat SMA-ku yang kini sudah bagian dari lulusan Kedokteran Universitas Indonesia. Teman yang sangat-sangat kubanggakan. Aku sempat ke mengunjungi kampus FK UI dan Gereja Katedral yang terkenal. Om-ku yang bodoh membawaku ke Taman Mini sore hari yang mana tempat tersebut sudah gelap dan mau tutup. Entah mengapa dia keras kepala sekali dan tidak mau mendengarku waktu itu. Tapi sudahlah, hanya satu hari yang bodoh tidak dapat mengganggu liburanku. Aku sudah puas berjalan ke gang-gang kecil di sekitar hotel di mana ada warung yang menjual bir-bir secara terbuka. Aku lupa nama daerah tersebut (sepertinya cukup terkenal), tetapi setidaknya cukup menarik merasakan sedikit kebobrokan kaum kecil di Jakarta. Merasakan gedung-gedung yang menutupi angkasa serta macetnya jalan yang tidak masuk akal melengkapi betapa sempurnanya pengalaman singkatku di Jakarta.

Setelah urusan om-ku selesai di Jakarta, beliau mengajakku ke Bandung. Kami tinggal di, uhh, penginapan milik pemerintah daerah atau antah apa namanya. Kami bisa tinggal sementara di sana karena beliau kenal dengan siapa dan siapa blablabla aku tidak peduli. Bandung!!! Aku beruntung sekali berada di tengah-tengah kota. Jiwa kekanak-kanakanku dipuaskan oleh bermain sepuasnya di Trans Studio Bandung. Aaaah... Bahagia sekali ketika aku masuk ke indoor theme park yang JAUH lebih besar daripada Trans Studio Makassar yang biasanya kukunjungi. Dengan mengalahkan rasa maluku, sendirian kumencoba segala atraksi berbahaya dan menegangkan seperti rumah hantu, roller coaster, dan semacamnya. Aku seperti kembali ke usia 10 tahun kembali, bedanya masa kecilku tidak pernah sebahagia ini. Pada masih kecil aku adalah anak yang serius. Saat itu aku belum tahu bagaimana rasanya menikmati hidup. Setelah aku BENAR-BENAR puas bermain, kami makan di restoran mahal yang membayangkan masuk pun aku tak sanggup. Dengan tampilan kumalku, aku dilayani layaknya bos dengan sajian bak kerajaan. Aku suka diperlakukan seperti ini!


Setelah hari itu, aku melakukan petualangan yang tak kalah serunya. Karena Om-ku sudah pulang, aku mengembara layaknya backpacker mengelilingi segala tempat yang ingin kukunjungi di Bandung. Aku pergi ke museum untuk pertama kalinya, menyusuri taman kota, melihat cewek-cewek Bandung yang cantik, sampai berjalan kaki memutari kompleks ITB yang dibangga-banggakan Indonesia. Jiwa introvert-ku sangat terpuaskan. Saat di Bogor, aku dibawa ke Kebun Raya Bogor dan Taman Wisata Cimory yang sangat menyenangkan karena bukan saja aku merupakan pecinta taman kota, aku juga bertemu dengan dua kenalanku yang menemani liburanku di sana. Di Bogor aku tinggal dengan om-ku yang jenius dan bermain dengan anak perempuannya yang masih TK. Entah kenapa aku lebih nyambung ngomong sama anak kecil daripada anak sebayaku. Mungkin angkatanku memang aneh. Ya, mereka semua aneh! Untung saja aku lulusnya terlambat sehingga aku tidak perlu bertemu dengan mereka.

Setelah beberapa hari di Bogor, akhirnya aku pulang ke Surabaya dengan kereta. Perjalanan waktu itu memakan hampir setengah hari, yang mana cukup melelahkan karena aku tidak bisa duduk dengan leluasa. Pada saat itu, aku teringat suatu malam di penginapan berbintang Bandung saat aku menangis sendirian. Malam ironis itu. Di dalam kamar yang mewah dan besar, air mataku mentes sampai terdengar suaraku terisak. Pintu kamar kukunci waktu itu supaya tidak ada orang yang masuk. Aku ingat di kota Bandung pada pukul 8 malam, aku menangis tersedu-sedu. Air mataku mengalir tepat di saat aku mendapatkan semua hal yang aku idam-idamkan sejak lama. Jiwaku hancur berantakan.

Beberapa menit sebelumnya, om-ku memanggilku untuk ke kamarnya. Saat itu aku baru saja bersantai sejenak di kamar inap baruku. Saat aku menemuinya, ia memintaku untuk menguruskan emailnya. Sepertinya memang ia agak gaptek, sehingga agak sulit baginya mengoperasikan laptopnya. Aku sangat bingung saat ia mencoba memberikan instruksi tentang apa yang harus kulakukan waktu itu. Aku sadar bahwa perintahnya sangat remeh namun cukup banyak, seperti mendownload file-file dari beberapa email. Aku mencoba mengajari bagaimana cara untuk melakukan hal tersebut, tetapi ia ogah-ogahan dan aku baru sadar bahwa dia bodoh amat dengan bagaimana mengurusi email. Dia hanya ingin menyuruhku menyelesaikan tugasnya.

Aku berjalan gontai menuju kamarku dengan laptopnya yang berat di genggamanku. Aku menyusuri email-email aneh dan mengunduh tugas-tugas tidak jelas yang dimintanya padaku. Aku jadi ingat bahwa ayahku sempat kerja untuknya sejak ia pensiun tanpa pesangon dari kantor swastanya. Ayahku menjadi tenaga manusia yang mengerjakan hal yang mirip dengan kukerjakan sekarang. Aku melihat bekal yang di amplopku yang masih sangat banyak. Uang hasil pemberian Om-ku. Aku melihat ke pemandangan malam Bandung di luar jendela yang sangat indah, dihiasi oleh furnitur mewah dalam hotel ini. Aku ikut ke sana-kemari semua tergantung maunya om-ku. Bahkan ke tempat-tempat yang aneh, hanya untuk bisnisnya. Baginya mungkin memasukkan ke Trans Studio bukanlah hal yang susah karena dia punya terlalu banyak uang. Malam itu aku sadar aku sedang diperalat. Malam itu aku sadar ada benang yang mengikatku dengan ujung yang bermuara ke tangannya. Aku harus melakukan segala apa yang dia minta dan menuruti segala apa yang dia mau karena, mau tidak mau, aku telah "dibayar" olehnya. Malam itu aku merasa hina. Harga diriku hancur tak berbentuk lagi.

Aku menangis, menyadari bahwa kebahagiaanku merupakan satu kebohongan besar. Kukira aku sudah lolos dari kejaran kedokteran. Di liburan yang singkat ini, kukira aku sudah bisa hidup bebas melakukan apapun yang aku mau. Namun di balik semua itu aku adalah budak dari uang dan orang-orang kaya. Sedikit saja om-ku punya niat jahat, pasti aku sudah tidak berkutik karena aku telah disogoknya, ya kan? Apapun bisa terjadi dan aku tidak bisa apa-apa, "Aku tidak mau jadi bawahan... Aku tidak mau jadi bawahan..." lirihku yang sudah kehilangan akal. Logikaku meledak! Di dalam sangkar emas penginapan mewah malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri supaya hal ini tidak akan terjadi lagi. Hatiku menggumam...

Aku tidak ingin jadi bawahan...

Aku tidak ingin jadi bawahan...

Aku tidak ingin jadi bawahan...

Suatu hari nanti aku berjanji aku akan jadi bos terhadap diriku sendiri. Malam itu aku meminta pada Tuhan untuk diberikan rejeki yang melimpah supaya tidak ada orang yang bisa membayarku. Kukira aku pintar. Kukira aku bijak. Kukira aku bahagia. Kenyataannya setelah liburan ini selesai, aku masih bukan siapa-siapa. Kugenggam api di dadaku. Sambil menangis, sambil mengingat orang tua yang selalu membanggakanku, hatiku hanya bisa terus menggumam...


First things first
Imma say all the words inside my head
I'm fired up and tired of the way that things have been oh, ooh
The way that things have been oh, ooh

Second thing second
Don't you tell me what you think that I can be
I'm the one at the sail, I'm the master of my sea oh, ooh
The master of my sea oh, ooh

I was broken from a young age
Taking my sulking to the masses
Write down my poems for the few
That looked at me, took to me, shook to me, feeling me
Singing from heartache from the pain
Taking my message from the veins
Speaking my lesson from the brain
Seeing the beauty through the...

...Pain




Malam itu aku adalah Andika yang baru. Andika yang lebih bodoh, lebih sombong, hasil dari sebuah penyingkapan realita pahit yang membuahkan penolakan akan sebuah kekalahan. Andika yang, sudah bahagia, tetapi suatu hari nanti...

...berjanji akan jauh lebih "bahagia".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog