Generasi Masokis
Gue kecewa.
Semenjak terjun ke masyarakat, gue belajar mengenai hal-hal baru, termasuk kenyataan pahit a.k.a. the ugly truth tentang masyarakat kita. Gue akan sebut kondisi ini dengan nama 'Generasi Masokis'.
Masokisme adalah kecenderungan untuk merasakan kenikmatan melalui rasa sakit, baik fisik maupun psikologis. Biasanya masokis ini merupakan variasi dari hubungan seksual, di mana mereka lebih terangsang saat dicambuk, diikat, dianiaya, ataupun dilontarkan kata-kata kasar yang manyakitkan hati mereka. Lucunya, gue merasa inilah yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari. Mereka cenderung "masokis". Biar gue jelasin!
Gue selalu mendapati orang-orang di sekitar gue mau bersikap baik ke gue baru setelah gue jahat ke mereka. Ketika gue senyum, ramah, berniat tulus, insiatif menolong, menjadi pendengar yang baik, dan sebagainya, justru gue malah dijahatin. Biasanya gue akan diremehkan, diabaikan, bahkan ketika gue ngomong jarang gue digubris. Ketika ada urusan tertentu, mereka akan ninggalin gue kesusahan sendirian sedangkan mereka menikmati keuntungan mereka sendiri. Diremehinlah pokoknya. Mereka tidak memberikan empati sama sekali terhadap orang-orang baik, bahkan justru orang-orang baik ini dimanfaatkan. Bukan cuma gue korbannya, temen-temen gue yang gue tahu baik banget sebagian besar nasibnya seperti ini.
Lucunya ketika gue mulai bersikap dingin kepada orang-orang, gue menggunakan kata-kata yang pedas, kasar, cuek, cenderung sering marah, suka menyalahkan, dan memenuhi hati gue dengan penuh kebencian, justru saat itulah mereka mulai ngedeketin gue. Gue akhirnya diperlakukan ramah, sering diajak ngomong, dihormati pendapatnya, dan mereka jadi nggak berani ngomong macem-macem sama gue. Gue paham kalo mereka jadi takut, yang gue heran, mereka ini justru jadi bersikap baik ke gue. Kan aneh? Seolah-olah gue harus jahat dulu kalau mau dibaikin. Nggak logis. Sangat-sangat masokis.
Banyak gue liat dokter senior gue harus menggunakan kata-kata yang menyindir supaya para bidannya tidak meremehkan mereka DAN SEBALIKNYA. Banyak senior gue yang masih ppds (Program Pendidikan Dokter Spesialis) sering nyuruh dan ngomong seenaknya ke kami yang masih dm (Dokter Muda), tetapi sopan banget sembah nuwun sama orang yang lebih senior (secara pangkat) dari mereka. Lucunya kalo gue berlagak jahat, ppds yang seenaknya tersebut jadi nggak berani lagi sama gue. Jadi tahu diri. Jadi paham kalau gue juga manusia yang harus dihormati. Menurut gue, yang bener adalah kita saling menghormati satu sama lain. Ketika gue punya junior, bukan berarti kita bisa nyuruh-nyuruh mereka seenaknya. Itungannya tetep kita minta tolong ke mereka. Untungnya masih ada beberapa senior tersisa yang mau menghormati juniornya secara wajar, sehingga gue masih punya teladan untuk dijadikan contoh.
Melihat kenyataan ini, rasanya ironis sekali. Gue merasa naif banget ketika tahun 2017 lalu berprinsip bahwa 'to heal this cruel world, love is meant to share to everyone' ketika kenyataannya gue nggak bisa survive dengan cinta. Ketika gue peduli sama orang, gue justru ditendang. Ketika gue jahat ke orang, baru gue diperlakukan manis. Saat menulis tulisan ini, gue stop sejenak dan menarik nafas panjang, sebelum akhirnya gue bilang ke diri gue sendiri: Sepertinya memang ada yang salah dengan generasi kita.
Mungkin ada yang salah dengan cara kita terdidik saat kita masih kecil. Setiap kita melakukan kesalahan (ataupun 'hampir' melakukan kesalahan), orang tua selalu mengancam kita dengan kemarahan. "Hayo, nanti papa marah loh!" atau "Jangan nakal, nanti dimarahi pak polisi loh!" sambil menunjuk pak security komplek seberang jalan yang sedang santai duduk dan tidak tahu apa-apa. Ketika kita salah, kita selalu dibentak, bukannya dikoreksi dan dihukum secara adil dan dewasa. Tumbuh besar kita belajar untuk 'tidak dimarahi' alih-alih belajar untuk 'mengulangi kesalahan' yang baru saja kita perbuat. Mungkinkah di situ letak kesalahan kita? Sejujurnya gue nggak tahu karena gue belum pernah belajar mengenai psikologi anak. Namun hemat gue, ketika anak sukses melakukan sesuatu, sepatutnya kita ngasih reward yang sama besarnya dengan punishment yang mereka dapat saat mereka berbuat salah. Adil. Kalau benar dihargai, kalau salah dikoreksi. Gue jarang liat anak dipuji setiap kali mereka melakukan sesuatu. Justru masyarakat kita mereasa aneh ketika kita dipuji saat melakukan satu kebaikan kecil, betul nggak?
Gue sempat berharap bahwa dengan cinta dan rasa peduli satu sama lain, orang-orang bisa terinspirasi. Kenyataannya kebaikan yang dulu gue beri ke mereka dijadikan alasan untuk memperlakukan gue dengan semena-mena. Semakin gue sabar, semakin menjadi.
Okelah, gue nggak berharap generasi tua kita untuk berubah. Yuk kita yang masih muda-muda ini berusaha mendidik diri serta anak-anak kita untuk tidak jadi 'Generasi Masokis'. Besarnya ketidakmerataan status ekonomi dan pendidikan di negara kita memang jadi tantangan besar buat kita. Namun orang-orang terdidik dan mereka yang kelebihan uang tidak bisa membuktikan kalo mereka mempunya sikap yang lebih baik.
Gue akan berusaha optimis karena, jauh menembus jiwa skeptis gue yang merasa semua orang sudah jahat dan rusak, gue tahu masih ada orang baik dan mau berusaha untuk jadi orang baik. Love, care, and compassion. Rasa peduli dan saling menghormati. Semoga dengan jiwa yang dewasa dan pikiran yang logis, kita bisa membentuk lingkungan sosial yang lebih 'stabil'.
Dan semoga ketika hari itu datang, orang bisa menikmati cinta sebagaimana seharusnya :)
Semenjak terjun ke masyarakat, gue belajar mengenai hal-hal baru, termasuk kenyataan pahit a.k.a. the ugly truth tentang masyarakat kita. Gue akan sebut kondisi ini dengan nama 'Generasi Masokis'.
Masokisme adalah kecenderungan untuk merasakan kenikmatan melalui rasa sakit, baik fisik maupun psikologis. Biasanya masokis ini merupakan variasi dari hubungan seksual, di mana mereka lebih terangsang saat dicambuk, diikat, dianiaya, ataupun dilontarkan kata-kata kasar yang manyakitkan hati mereka. Lucunya, gue merasa inilah yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari. Mereka cenderung "masokis". Biar gue jelasin!
Gue selalu mendapati orang-orang di sekitar gue mau bersikap baik ke gue baru setelah gue jahat ke mereka. Ketika gue senyum, ramah, berniat tulus, insiatif menolong, menjadi pendengar yang baik, dan sebagainya, justru gue malah dijahatin. Biasanya gue akan diremehkan, diabaikan, bahkan ketika gue ngomong jarang gue digubris. Ketika ada urusan tertentu, mereka akan ninggalin gue kesusahan sendirian sedangkan mereka menikmati keuntungan mereka sendiri. Diremehinlah pokoknya. Mereka tidak memberikan empati sama sekali terhadap orang-orang baik, bahkan justru orang-orang baik ini dimanfaatkan. Bukan cuma gue korbannya, temen-temen gue yang gue tahu baik banget sebagian besar nasibnya seperti ini.
Lucunya ketika gue mulai bersikap dingin kepada orang-orang, gue menggunakan kata-kata yang pedas, kasar, cuek, cenderung sering marah, suka menyalahkan, dan memenuhi hati gue dengan penuh kebencian, justru saat itulah mereka mulai ngedeketin gue. Gue akhirnya diperlakukan ramah, sering diajak ngomong, dihormati pendapatnya, dan mereka jadi nggak berani ngomong macem-macem sama gue. Gue paham kalo mereka jadi takut, yang gue heran, mereka ini justru jadi bersikap baik ke gue. Kan aneh? Seolah-olah gue harus jahat dulu kalau mau dibaikin. Nggak logis. Sangat-sangat masokis.
Banyak gue liat dokter senior gue harus menggunakan kata-kata yang menyindir supaya para bidannya tidak meremehkan mereka DAN SEBALIKNYA. Banyak senior gue yang masih ppds (Program Pendidikan Dokter Spesialis) sering nyuruh dan ngomong seenaknya ke kami yang masih dm (Dokter Muda), tetapi sopan banget sembah nuwun sama orang yang lebih senior (secara pangkat) dari mereka. Lucunya kalo gue berlagak jahat, ppds yang seenaknya tersebut jadi nggak berani lagi sama gue. Jadi tahu diri. Jadi paham kalau gue juga manusia yang harus dihormati. Menurut gue, yang bener adalah kita saling menghormati satu sama lain. Ketika gue punya junior, bukan berarti kita bisa nyuruh-nyuruh mereka seenaknya. Itungannya tetep kita minta tolong ke mereka. Untungnya masih ada beberapa senior tersisa yang mau menghormati juniornya secara wajar, sehingga gue masih punya teladan untuk dijadikan contoh.
Melihat kenyataan ini, rasanya ironis sekali. Gue merasa naif banget ketika tahun 2017 lalu berprinsip bahwa 'to heal this cruel world, love is meant to share to everyone' ketika kenyataannya gue nggak bisa survive dengan cinta. Ketika gue peduli sama orang, gue justru ditendang. Ketika gue jahat ke orang, baru gue diperlakukan manis. Saat menulis tulisan ini, gue stop sejenak dan menarik nafas panjang, sebelum akhirnya gue bilang ke diri gue sendiri: Sepertinya memang ada yang salah dengan generasi kita.
Mungkin ada yang salah dengan cara kita terdidik saat kita masih kecil. Setiap kita melakukan kesalahan (ataupun 'hampir' melakukan kesalahan), orang tua selalu mengancam kita dengan kemarahan. "Hayo, nanti papa marah loh!" atau "Jangan nakal, nanti dimarahi pak polisi loh!" sambil menunjuk pak security komplek seberang jalan yang sedang santai duduk dan tidak tahu apa-apa. Ketika kita salah, kita selalu dibentak, bukannya dikoreksi dan dihukum secara adil dan dewasa. Tumbuh besar kita belajar untuk 'tidak dimarahi' alih-alih belajar untuk 'mengulangi kesalahan' yang baru saja kita perbuat. Mungkinkah di situ letak kesalahan kita? Sejujurnya gue nggak tahu karena gue belum pernah belajar mengenai psikologi anak. Namun hemat gue, ketika anak sukses melakukan sesuatu, sepatutnya kita ngasih reward yang sama besarnya dengan punishment yang mereka dapat saat mereka berbuat salah. Adil. Kalau benar dihargai, kalau salah dikoreksi. Gue jarang liat anak dipuji setiap kali mereka melakukan sesuatu. Justru masyarakat kita mereasa aneh ketika kita dipuji saat melakukan satu kebaikan kecil, betul nggak?
Gue sempat berharap bahwa dengan cinta dan rasa peduli satu sama lain, orang-orang bisa terinspirasi. Kenyataannya kebaikan yang dulu gue beri ke mereka dijadikan alasan untuk memperlakukan gue dengan semena-mena. Semakin gue sabar, semakin menjadi.
Okelah, gue nggak berharap generasi tua kita untuk berubah. Yuk kita yang masih muda-muda ini berusaha mendidik diri serta anak-anak kita untuk tidak jadi 'Generasi Masokis'. Besarnya ketidakmerataan status ekonomi dan pendidikan di negara kita memang jadi tantangan besar buat kita. Namun orang-orang terdidik dan mereka yang kelebihan uang tidak bisa membuktikan kalo mereka mempunya sikap yang lebih baik.
Gue akan berusaha optimis karena, jauh menembus jiwa skeptis gue yang merasa semua orang sudah jahat dan rusak, gue tahu masih ada orang baik dan mau berusaha untuk jadi orang baik. Love, care, and compassion. Rasa peduli dan saling menghormati. Semoga dengan jiwa yang dewasa dan pikiran yang logis, kita bisa membentuk lingkungan sosial yang lebih 'stabil'.
Dan semoga ketika hari itu datang, orang bisa menikmati cinta sebagaimana seharusnya :)
Komentar
Posting Komentar