The Lion King (2019) Movie Review

The Lion King (2019)
Director: Jon Favreau
Casts: Donald Glover, Beyonce, JD McCrary, Chiwetel Ejiofor


Is this a good movie?

Secara visual, Jon Favreau sekali lagi membuktikan kemampuannya untuk membuat "live-action" dengan karakter hewan, seperti yang ada pada remake film 'The Jungle Book' (2016). Pemandangannya sangat bagus. Semua hewan tampak nyata, mulai dari bulu mereka yang didesain sangat mendetail, beberapa fitur anatomis seperti bulu pada siku Simba yang dibuat mengikuti spesies singa Simba di dunia nyata, desain ulang beberapa tempat legendaris pada film animasinya pun cukup memanjakan mata, seperti area sekitar Pride Rock maupun tempat tinggal Timon dan Pumba. Sebagai gambar still, 'The Lion King' (2019) sukses mempesona penontonnya. Namun hal ini tidak didukung dengan permainan kamera yang kreatif. Beberapa shot cukup berani untuk memilih pergerakan dan sudut kamera yang berbeda dari film animasinya, tetapi tidak ada kerja kamera yang unik dari film ini.

Masih berbicara soal visual, sekali lagi perlu diapresiasi bagaimana Jon Favreau berimprovisasi dari film animasinya yang penuh warna dan kartunis menjadi full diambil dari dunia nyata, tetapi tetap dapat menyampaikan atmosfir pada cerita. Salah satu kesalahan terbesar film ini, yang saya kutip dari Chris Stuckman di youtube, adalah scene 'Can You Feel The Love Tonight' yang diambil pada siang hari. Sesuai dengan judul lagunya pun tidak. 

Dari segi lagu, tidak banyak lagu baru yang berbeda dari film animasinya, yang mana lagu-lagu lama tersebut dinyanyikan dengan sangat rapi dengan improvisasi yang tidak merusak jiwa dari lagu tersebut. Mulai dari pengisi suara Simba muda, Simba dewasa, Timon, Pumba, Scar, dan Nala semua menyanyikan bagiannya dengan sangat baik. Soundtrack-nya cukup menarik untuk didengar kembali setelah keluar dari gedung bioskop.

Hal terbesar yang paling perlu dikritisi sebenarnya datang dari segi cerita. Film ini tidak menceritakan hal baru dibandingkan film originalnya, yang mana membuat remake ini tidak membawa sesuatu yang fresh bagi orang yang sudah pernah menontonnya. The pace of this movie is really messed up. Beberapa bagian disingkat seolah-olah sutradara hanya ingin menjelaskan apa yang terjadi tanpa membuatnya natural seolah hal tersebut benar-benar terjadi. Belum selesai Mufasa dan Simba mengeksplorasi kerajaan mereka, tiba-tiba masuk adegan di mana Simba melatih berburu pada Zazu, tiba-tiba Mufasa sudah harus pergi karena... Plotnya butuh Mufasa dari tempat tersebut. Banyak scene semacam itu dibuat terburu-buru, sekedar untuk memasukkan adegan penting dalam film animasinya ke dalam remake-nya ini. Hal tersebut membuat segalanya menjadi tidak natural, termasuk membuat Simba dan Nala yang sudah lama tidak bertemu tiba-tiba jatuh cinta. Padahal dulu mereka hanya bersahabat. Di film animasinya pun, mereka jatuh cinta di pertengahan lagu 'Can You Feel The Love Tonight'. Namun pada film ini, mereka tiba-tiba jatuh cinta hanya karena selanjutnya mereka harus menyanyikan lagu cinta. Hampir tidak ada jiwa dalam film ini.

Beberapa scene tersebut dipendekkan secara sengaja karena sang sutradara ingin memanjangkan beberapa scene lain yang ia anggap menarik untuk dipanjangkan. Memang pada akhirnya, sebagian besar adegan-adegan yang dipanjangkan tersebut, diceritakan dengan tempo perlahan, natural, dan menunjukkan keunikan hewan-hewan bertingkah alami (seperti tikus yang berkeliling di antara batu-batu sebelum ditangkap Scar), tereksekusi dengan hasil yang memuaskan. Dialog komedi Timon dan Pumba terasa natural dengan segala improvisasinya. Namun hal tersebut merusak untuk cerita film ini yang mana menjadi penentu apakah penonton dapat menginvestasikan emosinya pada film ini atau tidak. Sayangnya, plot utama film ini diceritakan dengan terlalu cepat.

Satu hal penting lain yang sangat mengganggu dari film ini adalah kurangnya emosi dari para karakternya. Di film aslinya, setiap karakter dapat menunjukkan emosinya, sehingga kita dapat ikut merasakan apa yang terjadi. Adegan bernyanyi 'Can't Wait to Be a King' hanya tampak seperti Simba dan Nala membuka dan menutup mulutnya. Hanya ketika Simba bertingkah manja dengan memutarkan badannya di tanah atau ketika Simba remaja mengejar kupu-kupu kita bisa merasakan bahwa karakter ini benar-benar hidup. Sisanya, yang kita lihat hanyalah hewan yang dapat berbicara tanpa bisa tersenyum, mengerutkan wajah saat marah, ataupun cemberut saat nangis. Hal ini seharusnya bisa diperkuatkan dengan permainan anggota tubuh yang lebih ekspresif. Karakter Timon menjadi salah satu karakter yang paling nyata karena wajahnya tampak sedikit mirip manusia. Voice acting Zazu sudah cukup komedik dan ekspresif, tetapi sayangnya wajah Zazu tampak seperti burung bengong sepanjang film. Suaranya lebih ekspresif dari gerak tubuh yang ditunjukkan.

Beberapa improvisasi lain yang cukup mengganggu adalah sutradara mencoba membuat Hakuna Matata menjadi kebalikan dari Circle of Life ajaran Mufasa yang mana seharusnya justru sebaliknya, keduanya bersinergis menjadikan kebebasan sebagai sesuatu yang harus dijalani dengan tanggung jawab sambil saling menghormati antar sesama. Rafiki pun menjadi karakter yang sangat tidak penting pada film ini karena kegilaannya yang komedis tidak dimunculkan pada film ini. Mufasa cukup memberikan karisma, begitu pula dengan Scar jika tidak dibandingkan dengan versi awalnya. 

Secara umum, film ini merupakan presentasi desain animasi yang sangat bagus dan canggih. Namun, sebagai sebuah cerita, tidak ada yang melekat seusai menontonnya. Film aslinya tidak hanya lebih bagus dalam menceritakan, tetapi dapat menyeimbangkan segala aspek yang dibutuhkan untuk sbeuah film animasi musikal anak-anak.The Lion King (2019) tidak berhasil mengembalikan kejayaan film pendahulunya tersebut.



Rating: "Not worth to watch on theatre"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog