That Girl's Best Friend

THAT GIRL'S BEST FRIEND
Cerpen oleh Andika Hilman

Dia suka aku, katanya.

Aku juga seneng banget berteman dengan Jennie. Cuma sama dia aku bisa benar-benar jadi diriku sendiri. Jennie adalah seorang biseksual yang lebih cenderung tertarik dengan wanita, jadi aku nggak perlu jaim-jaiman sama dia. Karakterku sebagai cowok feminin pun bisa keluar apa adanya. Apalagi dia anaknya easy-going, jadi dia bisa membuatku yang socially-awkward dan introvert parah ini menjadi manusia yang lebih..... 'normal'.

Yah, nggak normal-normal amat juga sih! Hahaha....

Kita ngechat hampir setiap hari. Ngobrol dengan Jennie itu entah kenapa nggak pernah ada habisnya. Mungkin karena dia ada darah Perancis jadi aku selalu punya banyak pertanyaan tentang negaranya tersebut. Dia juga suka cerita tentang pengalamannya, sambil sesekali gantian aku yang curhat nggak jelas ke dia. Kadang kami membahas LGBT dan mengutuki para homophobia. Tapi kadang juga bahas hal-hal nggak penting kayak boyband-lah, komik-lah, hukum di Perancis-lah, indomi-lah, macem-macem deh pokoknya! Aku nggak pernah senyaman ini ngechat sama seorang cewek.

Jangan-jangan emang ngechat sama cewek itu nggak asik ya? Kecuali sama Jennie :)

Kita juga pernah jalan bareng beberapa kali. Pernah sama temen-temen komunitasnya, juga pernah berdua aja. Serunya adalah akhirnya aku bisa menunjukkan ke-gay-anku. Wkwk... Cara ngomongku benar-benar berubah kalau sama Jennie. 180 derajat! Bener-bener nggak "cowok" banget pokoknya! Kalau menurutnya aku hanya bersikap 'di luar stigma tentang cowok pada umumnya'. Jennie adalah cewek yang benar-benar open minded dan bisa nerima orang apa adanya.

Pernah waktu kita jalan berdua kita beli balon banyak terus berlarian di taman kayak anak kecil. Kita tertawa lepas banget. Sore itu dia juga, ehem, mencium bibirku. Bercanda sih konteksnya. Tapi ya aku jadi agak sebel soalnya aku kan masih murni hetero nggak kayak dia. 

"Aku kan masih suka cewek! Kalau aku jadi suka kamu gimana?!" hentakku.

"Iya iya, maaf," kata Jennie sambil sedikit menahan tawa,"Abisnya...."

"Abisnya apa??!" tanyaku yang sudah sangat marah.

"An, maafin aku ya? Aku tahu aku nggak sopan. I shouldn't have done that.... Nggak bakal lagi deh! Janji," kata Jennie sambil memegang bahuku yang memunggunginya.

Aku diam. Sejujurnya aku masih agak syok waktu itu karena aku nggak pernah dicium cewek sebelumnya.

Jennie lalu berkata lagi, "Do you want me to buy you an ice cream?"

"Okay!" teriakku spontan.

Akhirnya abis itu suasana reda kembali haha... Sebenarnya taktik-beli-es-krim itu aku duluan yang mulai sih. Aku pernah nggak sengaja ngotorin album K-popnya pake kue pas aku berkunjung ke rumahnya. Untungnya saat itu dia juga nggak marah-marah amat, padahal albumnya mahal banget lho!
***
Ada yang berbeda hari ini.....

Jennie ngechat aku berkali-kali, tapi nggak kubales. Aku bener-bener berharap dia ngerti kalau aku merasa agak canggung. Akhir-akhir ini Jennie suka cerita tentang gebetan barunya. Cewek, namanya Srey. Kebetulan Srey berdarah bule asli, cuman orang tuanya memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Jennie kenal Srey di komunitas LGBT-nya. Aku pernah ditunjukkan fotonya. Cantik sih, tipe yang misterius-arogan gitu. Jennie benar-benar "tergila-gila" sama Srey. Cuman Srey ini agak populer dan baru, jadi dia merasa kesulitan untuk mendekati Srey. Apalagi Srey ini demiseksual, yang artinya (kayaknya salah sih) dia susah tertarik sama orang lain.

Aku sendiri nggak ngerti kenapa aku jadi merasa canggung kayak gini. Aneh aja rasanya dengerin Jennie curhat dia suka seseorang. Bukan karena dia cewek dan suka cewek lain, tetapi lebih ke..... cemburu. 

Ya, sepertinya aku jadi agak cemburu. Aku jadi merasa bersalah sama diriku sendiri. Aku merasa bener-bener inkompeten sebagai seorang cowok. Aku merasa nggak bisa menarik perhatiannya layaknya cowok normal. Dan di sisi lain, seolah-olah orang yang paling berharga bagiku sedang direbut oleh orang lain. Aku takut semuanya bakalan berubah kalau Jennie sudah punya pacar. Aku takut kembali sendiri dan kesepian seperti dulu.......
***
Kita baikan.

Hahaha anti-klimaks abis! Tapi aku bener-bener nggak mau kehilangan Jennie, jadi aku berusaha sabar mendengar curhatannya tentnag Srey. Aku mau jadi sahabatnya yang paling baik yang bisa bahagia ketika lihat sahabatnya bahagia :)

Hari ini Jennie ngajak aku ke meet-up dengan komunitasnya. Jennie bilang aku mungkin transeksual, secara, aku nggak nyaman terjebak dalam tubuh cowok. Dari dulu dia udah nyoba ngajakin aku sih, tapi aku selalu nolak karena aku nggak merasa terlalu butuh ikut gitu-gituan. Tapi kali ini aku iyain soalnya aku jadi penasaran tentang bagaimana sih aslinya Srey itu.

Nggak terlalu banyak orang yang dateng waktu itu, mungkin karena cuma kumpul-kumpul santai tanpa ada event resmi. Aku ngelihat beberapa cowok yang sikapnya, yah.... "banci" gitulah. Ada satu cowok malah kukira cewek beneran soalnya dia cantik banget! Parah sumpah cantiknya melebihi cewek rata-rata. Tapi mayoritas sebenarnya tampak normal-normal saja, seperti cowok-cewek pada umumnya. Kebanyakan yang datang cewek, termasuk Jennie. Dan ada satu-satunya cewek berwajah bule yang kutahu pasti itulah Srey.

Jennie duduk di sampingnya sedangkan aku duduk di sampingnya Jennie. Aku nggak tahu kalau ternyata Jennie udah deket banget sama Srey. Jennie udah cerita sih, tapi aku nggak tahu kalau udah sedekat itu! Sering banget aku mergokin mereka mulai dari saling sentuh-setuhan bahu (dua-duanya pake lengan pendek) sampai makin lama bener-bener pegangan tangan (kunci jari). Kadang juga saling berbisik di telinga terus cekikan sendiri. Tiba-tiba perasaan nggak enak itu muncul lagi.... Sebal... Canggung.... Entahlah, tapi aku berusaha untuk mengabaikannya karena aku udah berjanji sama diriku sendiri mau jadi sahabatnya yang paling.

Masalahnya bukan cuma canggung gara-gara Srey, aku canggung ketemu orang banyak kayak gini secara aku introvert parah. Untungnya mereka semua terbuka dan baik ke aku. Mereka semua open minded and, well, they're gays 'anyway' so I became more comfortable to be myself! Beberapa juga aku sudah kenal pas ketemuan sama Jennie. Percakapan malam itu benar-benar menyenangkan bagiku. Cowok-cowoknya menurutku pada lucu-lucu banget! Aku sampai ngakak yang lepas banget hehe... Bener-bener bikin lupa waktu!
***
Aku dan Jennie pulang sekitar jam 12 tengah malam. Dia akan kubonceng motor sama seperti saat berangkat tadi. Sebelum pulang Jennie sempat menghilang sebentar. Ternyata dia berduaan sama Srey. Aku tahu karena, saat kembali, Jennie memakai sebuah kalung mutiara yang bagus banget.

"Biasa aja ngelihatnya kali, An! Bagus, ya?" Jennie tanya pendapatku.

"Sumpah itu kayaknya mahal banget, ya nggak sih?" tanyaku.

"Haha iya kayaknya... Romantis banget tauk!!" kata Jennie tersipu.

Dalam hati aku sangat sangat cemburu, tapi apa daya aku hanya bisa tersenyum melihatnya. "Ngomong-ngomong, ini nggak apa-apa malem banget pulangnya? Jauh lho kalau dari sini," tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Iya nggak apa-apa, aku ada acara juga soalnya besok pagi. Masih ada yang aku harus siapin juga di rumah," jawab Jennie, "Maaf ya, An?"

"Oh iya, aku nggak apa-apa kok!" kataku sambil memberikannya helm. Setelah dadah-dadahan sama yang lain, kami pun berangkat pulang.

Jalanan sudah sangat gelap dan sepi, tetapi karena aku sempat minum kopi, jadi aku nggak terlalu ngantuk. Sayangnya, beberapa menit kemudian tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Kami pun menepi di pinggir jalan.

Toko di kanan-kiri kami semua sudah tutup. Suasana jadi semakin mencekam dengan ganasnya gemuruh guntur yang datang bergantian dengan kilatan petir. Jennie memegang lenganku, tampaknya ia ketakutan. Aku balik memegang tangannya agar dia tenang.

Tidak lama kemudian kami melihat bayangan dua orang pria sedang berjalan ke arah kami. Firasatku udah nggak enak banget dan ternyata bener aja, mereka benar-benar malakin kami. Mereka tampak berani karena kami berdua jauh lebih kecil dan salah satu dari mereka bersenjata.

"Heh!!!" teriak pria dengan pisau.

"Dompet dompet!" teriak pria yang lain.

"Ambil, Mas, ampun, mas...." kataku. Aku mengkode Jennie untuk segera memberikan barang-barang kami. Dia tampak marah dan tidak rela.

Saat ia mengumpulkan dompet dan hp kami, pria satunya berkata, "Iku spedamu yo? Kunci!"

"Maaf, mas, rumah kami jauh. Sidoarjo, Mas," kataku memelas.

"Urusanku a?"

"Endi cepetan heh!" kata pria satunya sambil menarik kerahku.

Jennie lalu memukul pria itu sambil berteriak, "Lepasin!" 

Dalam sekejap mata Jennie didorong sampai jatuh oleh pria dengan pisau. "Kyaaa!!!" Aku sekilas melihat Jennie sedang memegang lengannya erat, tampaknya pisau itu melukai lengannya.

Aku langsung naik pitam. Kudorong pria di depanku. Sayangnya, itu adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan karena aku berakhir dihajar oleh mereka berdua. Tubuhku disayat sana-sini pakai pisau. Setelah tampak tak berdaya, mereka mengambil kunci motor di celanaku dan pergi.

"Sek sek..." kata salah seorang dari mereka yang kemudian menghampiri Jennie dan mengambil kalung mutiara yang ternyata disembunyikan Jennie di balik bajunya. Jennie pasti sayang banget dengan kalung itu

Sontak aku berteriak untuk mencegahnya,"Hey.........." Suaraku terlalu lemah. Kukumpulkan seluruh tenagaku untuk bangkit. Kulihat mereka hampir pergi dengan motorku. Kuberteriak dengan sangat gagah dan lantang, "HEIII!!!"

Mereka berdua tampak kaget. "BALIKNO ASU!!!" teriakku lagi sambil lari menerjang. Aku melemparkan badanku ke arah mereka. Pria yang di belakang terjatuh bersamaku. Pria satunya langsung turun dari motor dan mengangkatku. Cuma ada satu hal di kepalaku waktu itu: kalung.

Saat aku dipukuli, aku berusaha merebut kalung itu dari kantong mereka. Namun merek sadar dan menariknya kembali yang membuat kalung tersebut putus dan benihnya berceceran. "Jancok, budhal ae, Cok!" adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari mereka sebelum motorku akhirnya dibawa kabur.

Setelah aman, Jennie setengah berlari menghampiriku sambil berteriak memanggilku, "Aaaan...!"

"Le.... Lenganmu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Goosh, my arm is totally fine! Yang berdarah-darah itu kamu. Kamu nggak apa-apa?" tanyanya tampak khawatir.

"Pisau dapur. Nggak terlalu tajam kok," kataku lalu spontan tertawa kecil. "Kalungmu Jen... Ntar... kita bisa sambung lagi....."kataku lirih dan tertatih.

Tiba-tiba suasana hening. Jennie menutup mulutnya dengan tangan dan tampak berkaca-kaca. "Aku nggak peduli sama kalung itu asal aku masih punya kamu," ucapnya.

Aku tersenyum. "Aku mungkin nggak maskulin, Jen, tapi aku siap jadi apapun kalau buat kamu," kataku mengatakan hal yang terlintas di benakku.

Jennie langsung mendekatkan wajahnya ke arahku. Ia mengecup tepat di samping bibirku. Ia lalu melihatku sambil tersenyum penuh makna. 

Aku lalu segera meraih dagunya dan menciumnya dengan benar. Perasaanku campur aduk malam itu. Antara kedinginan, kesakitan, khawatir bagaimana caranya pulang sampai khawatir dengan bagaimana hubunganku dengannya selanjutnya. Namun satu hal yang pasti: Aku merasakan bahagia yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

"I love you" Aku menatap kedua matanya yang berkaca-kaca.

"I thought you'll never say it. I always love you too," bisiknya kepadaku.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog