Secangkir Teh Susu Novela

SECANGKIR TEH SUSU NOVELA
Cerpen oleh Andika Hilman

Aku suka membaca.

Membaca orang-orang. Membaca kisah-kisah mereka. Membaca raut wajah mereka, yang sedih, senang, bosan, jengkel dan lainnya. Satu ekspresi wajah, sejuta cerita. Meski orang itu sedang sendirian. Meski ia sedang terdiam. Entah ia sedang sibuk dengan hp-nya, laptopnya, pensil dan kertasnya ataupun dengan pikiran mereka sendiri. Aku bisa merasakannya. Sebuah cerita. Sebuah perasaan. Sebuah kehidupan menarik yang menunggu untuk dibaca.

Aku suka membaca. Seperti saat ini aku sedang duduk di cafe favoritku. Di bangku favoritku. Dekat dengan jendela supaya aku bisa membaca lebih banyak wajah. Ditemani dengan secangkir minuman favoritku, teh susu panas. Minuman yang rumit. Sama seperti kehidupan ini, rumit! Sama seperti pikiranku. Pikiran dengan berbagai rasa, sangat manis tetapi sangat panas. Begitulah juga hidup. Sepanas apapun yang kau rasa, manislah yang sebenarnya kau telan. Namun orang-orang kadang membaliknya. Semanis apapun yang mereka minum, hanya panaslah yang mereka rasakan. Ada juga yang berpendapat lain lagi. Hal yang manis adalah hal yang panas! Orang-orang seperti ini adalah orang yang telah berputus asa dalam hidupnya. Bukan jiwa, tetapi hatinya. Hatinya telah mati. Namun jiwanya tetap menjilat apapun demi merasakan setetes rasa manis. Manis, sebelum mereka mati oleh panas.

Aku suka menulis. Aku bisa melakukan apapun saat menulis. Aku bisa ke manapun saat berimajinasi dengan tulisanku. Namun saat ini aku harus duduk. Diam. Menunggu. Di cafe ini, aku sedang menunggu seseorang. Dan, ya seperti yang aku bilang tadi, aku sedang membaca. Aku benar-benar sedang membaca sebuah buku. Sebuah kumpulan cerpen karya seorang maestro Indonesia. Aku pribadi sangat suka tulisannya! Ia begitu bisa bebas saat menulis. Ia tidak pernah takut akan pencitraan atau semacamnya. Ia seringkali mengajakku pergi ke tempat-tempat yang tak pernah kukunjungi, pikiran-pikiran yang tak pernah kuselami, wajah-wajah yang belum pernah kubaca, tubuh-tubuh yang tak pernah aku dekap. Membaca tulisannya benar-benar membuatku menyadari bahwa aku sedang hidup. Aku sedang bernafas. Aku sedang meminum tehku! Teh yang tak lagi panas. Panasnya telah larut dalam kata-kata yang dirangkainya dalam buku ini.

Pintu cafe terbuka, aku bisa melihatnya dari tempatku duduk. Seorang pegawai perempuan menyambutnya, tersenyum. Ia membalas senyumnya, manis sekali. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat. Lalu tanpa sadar pria itu telah berada beberapa langkah dariku.

"Hai!" sapanya. Ia memamerkan gigi-giginya yang putih bersih. Meski aku tahu, yang ia pamerkan sebenarnya adalah dirinya sendiri. Kepercayaannya kepada diri sendiri.

Aku tersenyum. "Hai," jawabku dengan suara yang lebih pelan. Aku membenahi kerudungku. Membetulkan kacamataku. Merapikan baju hitamku. Aku ingin terlihat menarik di depannya.

"Sudah menunggu lama ya?"

"Ah, tidak kok!"

"Boleh duduk?"

"I.. Iya, silahkan," lalu aku pun duduk di tempatku tadi. Tak kusangka, tiba-tiba ia duduk di sebelahku, bukannya duduk di kursi di hadapanku. Ia tersenyum. Aku hanya bisa tersenyum.

"Novela....," tiba-tiba wajahnya tampak lebih serius,"Kamu tahu aku di sini tidak untuk berbasa-basi. Setelah 10 tahun aku di Surabaya, akhirnya aku bisa menemuimu di sini. Aku tahu kau tahu apa maksudku menemuimu."

Sejujurnya aku tidak tahu.

Atau setidaknya aku tidak mau tahu. Tidak mau tahu apakah aku benar atau salah. Aku tidak mau percaya pada firasatku sendiri. Aku hanya bisa membayangkan pertemuan ini sekedar menjadi reuni dua orang teman yang sudah lama tidak saling bertemu. Kukira kami hanya akan tertawa-tawa kecil mengenang masa lalu. Nyatanya aku salah. Ini adalah pertemuan dua hati yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua tahu pasti, ini lebih dari sekedar pelepas rindu.

"Aku mencintaimu Novela..."

Hatiku berdegup. Firasatku benar....

"Aku di sini karena hatiku memintaku untuk ke sini. Untuk menemuimu, Novela! Aku hanya mencintaimu. Aku bahkan bertahan selama ini tidak mencintai wanita lain. Aku setia. Tidak, aku bahkan tidak sanggup mencintai wanita lain. Hidupku hanya untukmu. Kau tahu itu!"

Aku terdiam. Mencoba memaknai setiap kata-katanya. Mencoba membaca wajahnya, cerita hidupnya, perasaannya....

"Mengapa kau di sini? Maksudku, mengapa kau percaya semua itu?”tanyaku.

"Karena takdir....
Karena hatiku telah memilihmu. Karena aku sayang padamu. Cinta... Atau entah apa namanya"

"Bagaimana kalau yang kau percaya itu..... Salah?"

"Maksudmu?"

Kujawab pertanyaannya dengan agak terbata-bata,"Bagaimana jika bukan aku wanita takdir hidupmu? Bagaimana kalau aku tidak mencintaimu?"

Ia menelan ludah. "Itu resiko yang aku ambil. Aku percaya pada cinta ini. Aku percaya pada senyumanmu waktu itu. Aku percaya ada cinta saat itu." Ia tersenyum. Senyumnya yang sama seperti 11 tahun yang lalu. Saat pertama kali kita bertemu. Di suatu kelas. Dalam suatu harapan yang telah sia-sia.....

"Memangnya kau tahu siapa aku sekarang? 10 tahun adalah waktu yang lama! Kau tidak tahu kan, apa saja yang telah kulalui? Bagaimana kalau.....," kata-kataku tertahan. Mataku sudah mulai panas,"Bagaimana kalau aku sudah menikah?"

Ia diam sejenak.

"Benarkah itu?"

Aku tak menjawabnya.
Diam...







Diam...













Diam...







Kami berdua diam.

Aku melihat wajahnya. Rahangnya telah kuat, beda seperti dulu. Matanya tajam, rambutnya agak gondrong, badannya lebih besar. Beda seperti dulu. Ia sudah tidak lagi memakai seragam SMA-nya. Tiba-tiba aku teringat dosaku di masa lalu. Mengapa tidak aku berikan saja sinyal negatif padanya waktu itu? Mengapa saat itu kami berpisah? Mengapa sebelumnya kami saling cinta? Cinta yang terpendam. Cinta yang tak pernah bicara. Cinta yang kurasa setelah kubaca wajahnya saat itu. Ia yang telah membaca hatiku lebih dulu. Ia yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan bahkan untuk sekarang, aku masih bisa merasakannya.

"Maaf, Bram. Aku tidak bisa. Kau harus mengerti itu."

Ia terdiam. Ia menatapku, tetapi masih diam. Diam seribu cerita. Diam satu cinta.

"Novela.....
Kau mungkin harus membaca ini!"
Ia lalu maju ke arahku sampai membuatku tertahan oleh jendela. Ia terus maju sampai aku bisa menghirup nafasnya. Sampai aku bisa merasakan dia dalam diriku. Kututup mataku, mencoba membaca apa yang sedang sampaikan. Perasaan ini.... Dengan beribu detak jantung yang memburu. Dengan perasaan yang teraduk-aduk. Dengan hangat dirinya menekanku. Aku bisa membacanya! Bertahun-tahun ia kesepian, sendirian, di tengah perempuan yang menyukainya. Perempuan yang satu per satu ia tolak, demi kepercayaan dalam hatinya. Demi sesuatu yang tak pasti..... Yaitu aku. Aku tidak pasti.
Air mataku mengalir.....

Kudorong dia kuat-kuat. Aku berteriak,"APA-APAAN KAU! APA MAUMU?!"

"Nov, aku..."

Tanpa ia menyelesaikan kata-katanya aku mendorongnya lebih keras lagi. Sampai ia terjatuh. "TEGANYA KAU PERMAINKAN AKU! RASAKAN INI!" Aku mengambil teh susu panasku dan menyiramnya ke wajahnya.

"Aaaaargh!!!" Ia melenguh seperti singa dibakar ekornya.

"BACA INI!" Aku melemparkan novel tebal yang tadi ku baca. Pas! Kena kepalanya. Kena dahinya yang telah berlumuran darah oleh pecahan cangkir tadi. Tanpa sadar ia telah ada dua orang petugas keamanan yang telah bersiap. Mereka pun menggiring paksa Bram keluar dari cafe. Bram membawa pergi novelku. Entahlah mengapa...

Seketika aku merasa tenang. Aku merasa damai. Aku tersenyum. Namun perasaan itu semakin menggelora. Aku pun tak sanggup menahannya. Aku tak peduli apa-apa lagi! Aku tertawa sangat keras,"Hahahahahahahaha....!"

Aku menutup mataku.
***
Aku membukanya lagi setelah 2 detik saja. Kini di depanku yang ada hanyalah sebuah tembok. "Haah, ternyata tentang pria itu lagi. Sekarang di cafe toh? Hmm...," gumamku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Aku pun kembali ke ranjangku. Mengambil novel yang sedang terbuka dan melanjutkan kembali membaca. Air mataku sekarang sudah mengering, tetapi aku tetap tersenyum. Tak lupa aku melihat kamera yang berada di ujung ruangan kamar ini. Kuberikan jempolku ke arahnya, memberikan tanda bahwa aku sedang baik-baik saja.

"Cuma novel kok!" seruku kepada seseorang di seberang kamera sana. "Antarkan lagi teh susu hangat kepadaku dong! Boleh kan?" tanyaku lalu tersenyum ramah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog