Ada cewek masuk kamarku!!! :O
B-FRIEND
Cerpen oleh Andika Hilman
Cerpen oleh Andika Hilman
Kami akan pergi ke taman sore ini.
Namun Nicole datang ketika aku belum mandi. Karenanya aku mengundangnya masuk supaya ia bisa menunggu dulu. Hari itu pertama kali ada seorang cewek mengunjungi kamarku.
"Wow, pretty neat for a boy's room!" katanya.
"Haha of course," balasku. Ngomong-ngomong Nicole ini memang berdarah Amerika dan jika bersamaku dia selalu berbahasa Inggris. Awalnya memang sulit bagiku untuk mengikutinya, tetapi lama-lama kuterbiasa. Tapi mungkin pada cerita kali ini aku akan menulis setiap percakapan kami dengan menggunakan bahasa Indonesia supaya kalian yang membaca tidak bingung.
"Aaww lucunya!" katanya lalu langsung menyambar boneka beruang yang duduk di atas tempat tidurku. "Kok cowok punya boneka sih?" tanyanya sambil bermain dengannya.
"Hei, itu punyaku!" Aku berpura-pura mau merebut bonekaku darinya.
Nicole menghindar. "Lucunyaa...! Siapa namamu, beruang kecil?" tanyanya.
"Namanya 'Beluang', Nic. Tolong kembalikan aku malu," pintaku.
"Beluang?"
"Ya, 'bear' dalam bahasa Indonesia. Tapi...."
"Apa?"
"Aku mengganti huruf 'R' dengan 'L' supaya terdengar seperti anak kecil yang mengucapkannya. 'Beal, come here~' seperti itulah kira-kira." Dia lalu tertawa terbahak-bahak. Dia mengetawaiku karena tidak menyangka ternyata aku kekanakan sekali. Ya mungkin memang aneh seorang cowok punya boneka beruang di kamarnya.
"Aku nggak pernah lho kasih tahu orang lain soal ini. Kan katamu kita 'sahabat'?"
"Emang kenapa kalo kita sahabat?" tanyanya balik seolah menantang.
"Rahasiain!" tegasku.
"Entahlah ya? Lihat nanti saja!" jawabnya dengan nada bercanda.
Sahabat.
Itu yang dia deklarasikan kepadaku beberapa minggu yang lalu. Dia mengatakannya saat kita lagi chatting pada suatu malam. Aku bertanya jika dia sedang mabuk saat itu, dia tertawa. Sejujurnya aku senang sekali dia menganggapku seperti itu. Bukan saja karena dia teman yang menyenangkan, tetapi juga karena aku tipe cowok yang penyendiri. Aslinya aku takut sekali untuk menjalin hubungan apapun dengan siapapun. Socially awkward. Namun tampaknya Nicole baik-baik saja dengan hal tersebut. Atau dia justru tidak menyadarinya?
Aku lalu mengambil baju ganti lengkap di lemari bajuku dan tak lupa handuk yang menggantung di kursi. "Apakah kau akan menunggu di sini?" tanyaku sembari memilih baju yang pas.
"Mungkin aku akan ke ruang tamu saja," jawabnya,"Tidak enak sama ibumu. Aku tahu di sini agak tidak sopan jika perempuan asing memasuki kamar teman laki-lakinya."
Oh, aku cukup terkejut ternyata dia tahu sedikit mengenai budaya di sini. "Oke, aku langsung mandi saja ya supaya kita tidak kesorean?"
"Oke, An!" jawabnya samar-samar. Ngomong-ngomong 'An' adalah singkatan dari 'Andika' kalau kalian bingung. Sedangkan aku biasa memanggilnya 'Nic', singkatan dari nama depannya, 'Nicole'.
"Mungkin nggak akan seramah di Amerika lho!" yakinku.
"Tidak apa. Lagipula aku tinggal di Atlanta. Di sana lebih 'kota' lagi karena banyak sekali gedung bertingkat di sepanjang mata memandang," jawabnya santai.
Setelah pamit dengan ibu, kami pun mulai berjalan ke arah taman. Tujuan kami hari ini adalah berjalan dari perumahanku, lalu ke bawah jalan tol Juanda, lalu ke wilayah perumahan yang lebih besar karena hanya di sana yang tamannya, menurutku, cukup manusiawi untuk menikmati sore. Di sepanjang perjalanan kami bercakap melalui berbagai hal. Secara umum aku hanya mendengarkannya dan kadangkala merespon. Aku tidak terlalu pintar mencari topik, karena tahulah, basa-basi sama orang lain saja jarang. Apalagi untuk ngobrol dalam waktu yang lama?
"Aku baru sadar kalau baju kita sama-sama merah!" kata Nicole suatu saat. "Kamu ngepasin ya dengan bajuku?" tanyanya.
Aku melihatnya memakai jaket merah yang sengaja tidak dikancingkan di atas kaos putih, tidak lupa tas hitam kecil di bahunya. Sebagai bawahan ia memakai celana panjang hitam dan sepatu jalan. Sedangkan aku memakai kaos merah polos ,celana jins biru dan sebuah tas kecil biru yang memang sudah kebiasaanku untuk membawanya. Biasanya jika aku gugup aku akan memegang talinya (atau memasukkan tangan ke kantong celana kalau sedang tidak bawa tas), tetapi kali ini tas itu berisi dua botol air dan sebuah handuk kecil.
"Ya, ide bagus kan?" tanyaku balik.
"Kita jadi kayak pasangan tahu, An!" jawabnya lalu tertawa kecil. "Aku jadi malu dilihatin orang-orang."
"Nic, mungkin mereka melihat ke arah kita karena rambut blonde-mu itu. Di sini kan orang rambutnya hitam semua"
"Mungkin lain kali aku akan menyemir rambutku menjadi hitam supaya bisa sama dengan kalian."
"Haha.. Tidak, aku hanya bercanda. Aku suka rambutmu, plis jangan dicat warna lain!"
"Oh ya? Aw manis sekali! Menurumu begitu?"
"Ya, tentu. Apakah rambutmu sudah berwarna seperti itu sejak lahir?" tanyaku penasaran.
"Oh iya, aku mendapatkannya dari ayahku," jawabnya lalu bercerita panjang tentang ayah dan keluarganya. Sejujurnya dari dulu aku memang suka cewek berambut kuning-kecoklatan seperti rambutnya, apalagi jika agak berombak. Dan semua itu ada padanya. Nicole sendiri tidak terlalu putih dalam ukuran bule, mungkin agak terpengaruh dengan ibunya yang berdarah Indonesia. Entahlah, mungkin lain kali kutanyakan padanya. Yang pasti aku senang sekali punya teman seperti dia. Aku senang akhirnya punya teman, yang bahkan bukan sekedar teman, tetapi sahabat! Best friend. Teman terbaik. Ya, mungkin Nicole memanglah teman terbaikku karena toh aku tidak penah sedekat ini dengan orang lain selama beberapa tahun terakhir. Aku jadi agak lupa rasanya punya teman jika tidak bertemu dengannya.
Kuberharap aku tidak akan pernah kehilangannya.
Ternyata tamannya lebih jauh daripada yang kubayangkan. Kami sangat kelelahan begitu sampai di tujuan. Aku dan Nicole pun memutuskan untuk mengistirahatkan kaki di atas ayunan. Ia duduk di ayunan sebelah kiri sedangkan aku duduk di sampingnya, di ayunan sebelah kanan.
Diam-diam aku memperhatikannya. Nic lebih muda dariku dua tahun dan kebetulan dia juga lebih pendek dariku sekitar 5 cm (ada juga bule yang pendek). Matanya coklat, tetapi berbeda dengan mata orang Indonesia kebanyakan, entahlah aku susah mendeskripsikannya. Dagunya agak runcing dan hidungnya mancung. Pipinya terkadang memerah, mungkin karena kepanasan oleh hawa di Surabaya.
Dia anak yang cerewet, pastinya. Nic selalu punya hal untuk diceritakan. Dia pun suka dengan anak-anak, seperti saat ini dia sedang menikmati melihat anak-anak kecil bermain di dekat kami. Tidak heran jika setelah ini dia ikut berlari-larian dengan mereka. Tapi sepertinya dia agak kelelahan jadi ia hanya menyapa mereka, terkadang tertawa bersama. Mungkin jika anak-anak kecil ini jago bahasa Inggris Nic sudah mengajak mereka ngobrol dari tadi.
Kulihat ia sudah menghabiskan sebotol air yang kuberikan padanya. Handukku pun dipakainya untuk mengelap keringatnya. Yah, memang walaupun sudah sore hari ini hawanya hangat karena sedang musim kemarau. Mungkin panasnya menyebalkan kalau Surabaya, tetapi kalau tidak ada musim kemarau kita tidak mungkin berani ke luar rumah sore-sore seperti ini.
"An, kamu lapar nggak?" tanya Nic tiba-tiba. Ia lalu mengodeku untuk melihat ke arah gerobak bakso tidak jauh dari tempat kita duduk. "Aku yang bayar," katanya lagi.
Aku menawarkan untuk beli bakso tusuk saja, daripada beli mangkok karena aku tahu dia belum pernah makan bakso dengan cara seperti itu. Lagipula aku jgua tidak suka makan bakso pake kuah. Ia tidak suka pedas, sama sepertiku. Dia hanya memberikan saos tomat dan kecap pada pentolnya, sedangkan aku hanya kecap. Kami lalu duduk di semacam pendopo karena Nic merasa mungkin anak-anak kecil tadi juga ingin bermain di ayunan yang tadi kami duduki.
Di taman tersebut hanya ada aku, Nicole, dua anak kecil dengan ibunya (atau pengasuhnya?) dan si penjual bakso. Setelah beberapa saat makan, anak kecil dan ibunya pun pulang. Begitu juga dengan penjual bakso yang mungkin butuh sudah harus pulang karena kulihat baksonya sudah tinggal sedikit. Setelah beliau pergi, tinggallah kami berdua di taman kecil ini. Aku lalu menydari ada bekas saos di pipinya. Awalnya aku berusaha untuk membiarkannya, berharap dia nanti sadar, tetapi aku sudah tidak tahan melihatnya. Aku pun mengambil handukku.
"Maaf," kataku sebelum pelan-pelan mengelap pipinya. Dia agak terkejut dan tampak tersenyum kecil. Nic lalu merebut handuk itu dan gantian mengelap ujung bibirku yang ternyata juga ada bekas kecapnya.
"Maaf," katanya juga sambil menahan tawa, tetapi gagal. Akhirnya kita berdua tertawa bersama-sama.
"Maaf, lucu banget, An!" katanya,"Tapi makasih lho. Kamu perhatian banget"
"Hampir pipimu kumakan karena kukira itu juga bakso"
"Maksudmu pipimu tampak gemuk kayak bakso gitu?"
"Bukan aku yang bilang ya," kataku lagi. Kali ini makanan kita sudah habis. Kita berbagi sebotol air mineral terakhir di tasku sekedar untuk membersihkan kerongkongan masing-masing.
Sebelum aku mau beranjak untuk pulang Nic berkata,"Langitnya indah ya" Aku pun melihat ke arah langit senja yang berwarna oranye sore itu. Kalau sendirian mungkin sudah kuambil kameraku dan mula mencari sudut terbaik agar menghasilkan foto instagram yang bagus.
Namun sore itu aku merasa tidak perlu ditemani kamera......
"Aku senang punya teman yang suka diajak ke taman," kata Nicole, "Bahkan di Atlanta teman-temanku lebih suka nongkrong di mall atau club. Padahal aku suka sekali jalan-jalan ke taman kota. Tenang. Anginnya segar. Pemandangnnya indah dengan berbagai tanaman dan orang-orang yang juga sedang santai menikmati hari. Di sana aku suka ke taman sendirian. Sebegitu aku sukanya dengan taman!"
Aku melihatnya tersenyum sambil terus memandangi langit.
"Kamu tidak hanya membuatku merasa ditemani di Indonesia, tetapi bahkan di dunia ini. Aku tahu ku selalu bisa mengandalkanmu, An!" katanya lagi.
Aku tidak bisa mengungkapkannya waktu itu, tapi bagiku dia adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Seumur hidup aku tidak pernah mengalami indahnya persahabatan jika tidak dengannya. Seperti yang kubilang di awal aku memang punya kelemahan dalam bersosialiasi. Socially awkward. Pengalaman demi pengalaman membuatku semakin takut untuk berkenalan dengan orang baru. Tanpa sengaja aku selalu membuat semacam barrier dari orang lain. Aku selalu menghindari jika ada aorang yang mencoba mendekatiku dan aku tidak sadar melakukannya! Namun Nicole secara tak langsung memaksaku untuk masuk ke dalam lingkarannya. Ia mendorongku agar bisa merasakan indahnya punya teman baik. Punya sahabat. Best friend!
Mungkin tanpanya aku selamanya akan menjadi seorang penyendiri. Mungkin aku akan menjadi seseorang yang apatis dan anti-sosial, yang mana aku memang sangat menikmatinya. Aku tidak tahu sampai kapan persahabatan ini akan berlangsung, tetapi aku sangat berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan Nicole dalam hidupku.
"Thanks God," bisikku dalam hati.
Aku memencet tombol jepret di kameraku untuk terakhir kalinya. Aku puas melihat hasilnya. Aku lalu memasukkan handukku yang sudah basah oleh keringat dan memungut lidi bekas bakso serta dua botol aqua yang kosong dan membuangnya ke tempat sampah. Sebelum aku meninggalkan taman ini, untuk terakhir kalinya aku melihat ayunan sebelah kiri. Ayunan yang sebenarnya sedari tadi tidak pernah berayun sama sekali. Aku sudah tidak bisa melihat Nicole lagi dalam perjalananku menuju rumah. Dia memang suka datang pada waktu yang tidak diduga-duga.
Kadang kehadirannya membuatku lupa mana yang mimpi mana yang kenyataan...........................
"Mungkin aku akan ke ruang tamu saja," jawabnya,"Tidak enak sama ibumu. Aku tahu di sini agak tidak sopan jika perempuan asing memasuki kamar teman laki-lakinya."
Oh, aku cukup terkejut ternyata dia tahu sedikit mengenai budaya di sini. "Oke, aku langsung mandi saja ya supaya kita tidak kesorean?"
"Oke, An!" jawabnya samar-samar. Ngomong-ngomong 'An' adalah singkatan dari 'Andika' kalau kalian bingung. Sedangkan aku biasa memanggilnya 'Nic', singkatan dari nama depannya, 'Nicole'.
***
Ada sebuah taman di dekat rumahku, tetapi jaraknya agak jauh kalau berjalan kaki. Nicole bilang tidak apa-apa, walaupun aku sudah memperingatkan bahwa kita akan berjalan di pinggir jalan raya, jadi mungkin agak ramai dan berpolusi. Katanya dia sekalian ingin melihat kehidupan sore orang-orang di sini."Mungkin nggak akan seramah di Amerika lho!" yakinku.
"Tidak apa. Lagipula aku tinggal di Atlanta. Di sana lebih 'kota' lagi karena banyak sekali gedung bertingkat di sepanjang mata memandang," jawabnya santai.
Setelah pamit dengan ibu, kami pun mulai berjalan ke arah taman. Tujuan kami hari ini adalah berjalan dari perumahanku, lalu ke bawah jalan tol Juanda, lalu ke wilayah perumahan yang lebih besar karena hanya di sana yang tamannya, menurutku, cukup manusiawi untuk menikmati sore. Di sepanjang perjalanan kami bercakap melalui berbagai hal. Secara umum aku hanya mendengarkannya dan kadangkala merespon. Aku tidak terlalu pintar mencari topik, karena tahulah, basa-basi sama orang lain saja jarang. Apalagi untuk ngobrol dalam waktu yang lama?
"Aku baru sadar kalau baju kita sama-sama merah!" kata Nicole suatu saat. "Kamu ngepasin ya dengan bajuku?" tanyanya.
Aku melihatnya memakai jaket merah yang sengaja tidak dikancingkan di atas kaos putih, tidak lupa tas hitam kecil di bahunya. Sebagai bawahan ia memakai celana panjang hitam dan sepatu jalan. Sedangkan aku memakai kaos merah polos ,celana jins biru dan sebuah tas kecil biru yang memang sudah kebiasaanku untuk membawanya. Biasanya jika aku gugup aku akan memegang talinya (atau memasukkan tangan ke kantong celana kalau sedang tidak bawa tas), tetapi kali ini tas itu berisi dua botol air dan sebuah handuk kecil.
"Ya, ide bagus kan?" tanyaku balik.
"Kita jadi kayak pasangan tahu, An!" jawabnya lalu tertawa kecil. "Aku jadi malu dilihatin orang-orang."
"Nic, mungkin mereka melihat ke arah kita karena rambut blonde-mu itu. Di sini kan orang rambutnya hitam semua"
"Mungkin lain kali aku akan menyemir rambutku menjadi hitam supaya bisa sama dengan kalian."
"Haha.. Tidak, aku hanya bercanda. Aku suka rambutmu, plis jangan dicat warna lain!"
"Oh ya? Aw manis sekali! Menurumu begitu?"
"Ya, tentu. Apakah rambutmu sudah berwarna seperti itu sejak lahir?" tanyaku penasaran.
"Oh iya, aku mendapatkannya dari ayahku," jawabnya lalu bercerita panjang tentang ayah dan keluarganya. Sejujurnya dari dulu aku memang suka cewek berambut kuning-kecoklatan seperti rambutnya, apalagi jika agak berombak. Dan semua itu ada padanya. Nicole sendiri tidak terlalu putih dalam ukuran bule, mungkin agak terpengaruh dengan ibunya yang berdarah Indonesia. Entahlah, mungkin lain kali kutanyakan padanya. Yang pasti aku senang sekali punya teman seperti dia. Aku senang akhirnya punya teman, yang bahkan bukan sekedar teman, tetapi sahabat! Best friend. Teman terbaik. Ya, mungkin Nicole memanglah teman terbaikku karena toh aku tidak penah sedekat ini dengan orang lain selama beberapa tahun terakhir. Aku jadi agak lupa rasanya punya teman jika tidak bertemu dengannya.
Kuberharap aku tidak akan pernah kehilangannya.
***
Ternyata tamannya lebih jauh daripada yang kubayangkan. Kami sangat kelelahan begitu sampai di tujuan. Aku dan Nicole pun memutuskan untuk mengistirahatkan kaki di atas ayunan. Ia duduk di ayunan sebelah kiri sedangkan aku duduk di sampingnya, di ayunan sebelah kanan.
Diam-diam aku memperhatikannya. Nic lebih muda dariku dua tahun dan kebetulan dia juga lebih pendek dariku sekitar 5 cm (ada juga bule yang pendek). Matanya coklat, tetapi berbeda dengan mata orang Indonesia kebanyakan, entahlah aku susah mendeskripsikannya. Dagunya agak runcing dan hidungnya mancung. Pipinya terkadang memerah, mungkin karena kepanasan oleh hawa di Surabaya.
Dia anak yang cerewet, pastinya. Nic selalu punya hal untuk diceritakan. Dia pun suka dengan anak-anak, seperti saat ini dia sedang menikmati melihat anak-anak kecil bermain di dekat kami. Tidak heran jika setelah ini dia ikut berlari-larian dengan mereka. Tapi sepertinya dia agak kelelahan jadi ia hanya menyapa mereka, terkadang tertawa bersama. Mungkin jika anak-anak kecil ini jago bahasa Inggris Nic sudah mengajak mereka ngobrol dari tadi.
Kulihat ia sudah menghabiskan sebotol air yang kuberikan padanya. Handukku pun dipakainya untuk mengelap keringatnya. Yah, memang walaupun sudah sore hari ini hawanya hangat karena sedang musim kemarau. Mungkin panasnya menyebalkan kalau Surabaya, tetapi kalau tidak ada musim kemarau kita tidak mungkin berani ke luar rumah sore-sore seperti ini.
"An, kamu lapar nggak?" tanya Nic tiba-tiba. Ia lalu mengodeku untuk melihat ke arah gerobak bakso tidak jauh dari tempat kita duduk. "Aku yang bayar," katanya lagi.
Aku menawarkan untuk beli bakso tusuk saja, daripada beli mangkok karena aku tahu dia belum pernah makan bakso dengan cara seperti itu. Lagipula aku jgua tidak suka makan bakso pake kuah. Ia tidak suka pedas, sama sepertiku. Dia hanya memberikan saos tomat dan kecap pada pentolnya, sedangkan aku hanya kecap. Kami lalu duduk di semacam pendopo karena Nic merasa mungkin anak-anak kecil tadi juga ingin bermain di ayunan yang tadi kami duduki.
Di taman tersebut hanya ada aku, Nicole, dua anak kecil dengan ibunya (atau pengasuhnya?) dan si penjual bakso. Setelah beberapa saat makan, anak kecil dan ibunya pun pulang. Begitu juga dengan penjual bakso yang mungkin butuh sudah harus pulang karena kulihat baksonya sudah tinggal sedikit. Setelah beliau pergi, tinggallah kami berdua di taman kecil ini. Aku lalu menydari ada bekas saos di pipinya. Awalnya aku berusaha untuk membiarkannya, berharap dia nanti sadar, tetapi aku sudah tidak tahan melihatnya. Aku pun mengambil handukku.
"Maaf," kataku sebelum pelan-pelan mengelap pipinya. Dia agak terkejut dan tampak tersenyum kecil. Nic lalu merebut handuk itu dan gantian mengelap ujung bibirku yang ternyata juga ada bekas kecapnya.
"Maaf," katanya juga sambil menahan tawa, tetapi gagal. Akhirnya kita berdua tertawa bersama-sama.
"Maaf, lucu banget, An!" katanya,"Tapi makasih lho. Kamu perhatian banget"
"Hampir pipimu kumakan karena kukira itu juga bakso"
"Maksudmu pipimu tampak gemuk kayak bakso gitu?"
"Bukan aku yang bilang ya," kataku lagi. Kali ini makanan kita sudah habis. Kita berbagi sebotol air mineral terakhir di tasku sekedar untuk membersihkan kerongkongan masing-masing.
Sebelum aku mau beranjak untuk pulang Nic berkata,"Langitnya indah ya" Aku pun melihat ke arah langit senja yang berwarna oranye sore itu. Kalau sendirian mungkin sudah kuambil kameraku dan mula mencari sudut terbaik agar menghasilkan foto instagram yang bagus.
Namun sore itu aku merasa tidak perlu ditemani kamera......
"Aku senang punya teman yang suka diajak ke taman," kata Nicole, "Bahkan di Atlanta teman-temanku lebih suka nongkrong di mall atau club. Padahal aku suka sekali jalan-jalan ke taman kota. Tenang. Anginnya segar. Pemandangnnya indah dengan berbagai tanaman dan orang-orang yang juga sedang santai menikmati hari. Di sana aku suka ke taman sendirian. Sebegitu aku sukanya dengan taman!"
Aku melihatnya tersenyum sambil terus memandangi langit.
"Kamu tidak hanya membuatku merasa ditemani di Indonesia, tetapi bahkan di dunia ini. Aku tahu ku selalu bisa mengandalkanmu, An!" katanya lagi.
Aku tidak bisa mengungkapkannya waktu itu, tapi bagiku dia adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Seumur hidup aku tidak pernah mengalami indahnya persahabatan jika tidak dengannya. Seperti yang kubilang di awal aku memang punya kelemahan dalam bersosialiasi. Socially awkward. Pengalaman demi pengalaman membuatku semakin takut untuk berkenalan dengan orang baru. Tanpa sengaja aku selalu membuat semacam barrier dari orang lain. Aku selalu menghindari jika ada aorang yang mencoba mendekatiku dan aku tidak sadar melakukannya! Namun Nicole secara tak langsung memaksaku untuk masuk ke dalam lingkarannya. Ia mendorongku agar bisa merasakan indahnya punya teman baik. Punya sahabat. Best friend!
Mungkin tanpanya aku selamanya akan menjadi seorang penyendiri. Mungkin aku akan menjadi seseorang yang apatis dan anti-sosial, yang mana aku memang sangat menikmatinya. Aku tidak tahu sampai kapan persahabatan ini akan berlangsung, tetapi aku sangat berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan Nicole dalam hidupku.
"Thanks God," bisikku dalam hati.
Aku memencet tombol jepret di kameraku untuk terakhir kalinya. Aku puas melihat hasilnya. Aku lalu memasukkan handukku yang sudah basah oleh keringat dan memungut lidi bekas bakso serta dua botol aqua yang kosong dan membuangnya ke tempat sampah. Sebelum aku meninggalkan taman ini, untuk terakhir kalinya aku melihat ayunan sebelah kiri. Ayunan yang sebenarnya sedari tadi tidak pernah berayun sama sekali. Aku sudah tidak bisa melihat Nicole lagi dalam perjalananku menuju rumah. Dia memang suka datang pada waktu yang tidak diduga-duga.
Kadang kehadirannya membuatku lupa mana yang mimpi mana yang kenyataan...........................
Komentar
Posting Komentar