SEJAK AKU MASIH KECIL

Orang tuaku bertengkar lagi.

Aku benar-benar takut kalau sudah begini. Seperti biasa aku bersembunyi di dalam kamar dan mematikan lampu seolah keberadaanku tidak mereka pedulikan. Sebenarnya aku sudah lelah melalui malam-malam seperti ini. Biasanya kalau sudah begini aku mengambil headset sambil mendengarkan musik keras-keras dari handphone. Mungkin sambil surfing di internet ataupun menulis blog. Kalaupun mau membaca buku aku lebih memilih menggunakan senter daripada menyalakan lampu kamar. Aku benar-benar ingin menghilang sejenak dari dunia ini pada momen-momen seperti itu.
Namun ada yang berbeda dengan malam ini. Aku tidak bisa mengacuhkan apa yang sedang terjadi. Muncul rasa takut yang sangat besar saat mendengar mereka bersahutan, walaupun terdengar saling melengkapi. Seakan tubuhku dikendalikan, aku memanjat tempat tidur dan duduk di pojokan sambil memeluk boneka beruangku. Oh iya, mungkin aneh untuk cowok di umur segini punya boneka beruang, tetapi aku tidak pernah peduli apa kata orang. Apalagi malam ini. Aku hanya tidak mau mendengar apapun. Sayang aku pun tidak berhenti menghiraukan apa yang terjadi di luar kamar. Otakku kosong. Syok. Padahal sebagai seorang introvert biasanya pikiranku cerewet sekali, tetapi tidak kali ini. Seolah mendadak jiwaku ingin menikmati momen yang sedang terjadi dan aku benar-benar kehilangan kuasa untuk mengendalikan diriku.

Mungkin aku takut keluarga ini akan hancur sewaktu-waktu. Aku tidak bisa membayangkan jika orang tuaku berpisah dan aku harus memilih antara jaminan materi ayah atau kasih sayang ibu. Itu belum jika pihak yang kupilih tidak perlahan menggila. Atau justru merusak hidupnya sendiri dengan merubah gaya hidup ataupun menghalalkan apapun yang dulu tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Aku takut karena kutahu aku lemah. Tidak hanya untuk mengurus diri, mungkin aku pun tidak cukup perkasa untuk merawat mereka. Aku bodoh di sekolah dan tidak punya kehidupan sosial. Masa depanku buruk. Tidak ada yang bisa diharapkan oleh makhluk gagal sepertiku.
Namun justru bukan itu yang kutakutkan. Masih ada harapan akan keajaiban untuk mengubah masa depanku menjadi terang benderang. Kalaupun aku sukses nantinya, aku sangat sangat khawatir dengan perkawinanku kelak. Akankah aku menjadi sama dengan orang tuaku? Mungkin rekaman memori ini cukup intens mendidikku menjadi calon suami yang kasar dan pemarah. Aku takut tanganku belajar untuk memecahkan barang. Aku takut tumbuh menjadi seorang pembenci. Dan terutama aku takut tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku takut karena kutahu aku lemah. Aku bodoh.

Tanpa sadar aku sudah dalam posisi terbaring. Mungkin punggung kelelahan menopang stres ini. Aku memeluk beruang lebih erat karena aku tahu akan lebih susah untuk memejamkan mata. Ya, JAUH LEBIH SUSAH.

Sejujurnya aku cukup senang perlahan otakku mulai bekerja. Pikiranku mulai banyak, meski negatif semua. Aku lega bisa berpikir untuk kabur dari rumah, bunuh diri atau bahkan membunuh semua anggota keluargaku untuk menyelesaikan masalah. Setidaknya pikiranku tidak kosong. Kini aku merasa sedikit lebih kuat. "Mungkin aku bisa melalui semua ini," pikirku.

Aku memandang wajah beruang yang kupeluk lalu berpikir,"Apakah aku akan punya anak suatu hari nanti?" Kalau iya aku akan sangat kasihan dengan anak tersebut. Aku merasakan apa yang ia rasakan, tumbuh di keluarga yang rusak dengan terus berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aju berharap ada seseorang yang memeluk anak kecil tersebut dan meyakinkannya bahwa hidupnya memang akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kuambil earphone dan kuputar musik beralunan lambat di hapeku. Lagu cinta. Sambil menikmatinya perlahan aku sadar bahwa aku adalah orang baik. Aku mau tumbuh menjadi orang baik. Setidaknya aku tidak mau merepotkan banyak orang. Ah, mungkin seharusnya nanti aku tidak usah menikah. Aku tidak mau menodai jiwaku dengan lebih banyak kehancuran. Aku tidak mau menghancurkan hidup seorang wanita yang kutahu tercipta lembut hatinya. Aku tidak mau ada pria atau wanita kecil hidup dalam ketakutan akan orang tuanya. Aku tahu aku kuat. Aku harus bijak. Aku yakin aku bisa memutus rantai pernikahan tidak sehat di peradaban manusia. Aku tahu sebagai manusia normal aku butuh cinta, seks dan sebuah keluarga sebagai tempat kembali. Namun bukan berarti aku harus dapat segala hal yang kuinginkan kan?

Perlahan kamarku tampak menjadi semakin gelap dan gelap. Nafasku yang tadinya memburu kini mulai tenang. Aku tak lagi merasakan degupan di dadaku. Bahkan aku tak merasakan apa-apa lagi. Yang kutahu mataku sangat berat, begitu juga dengan kepalaku. Badanku terasa berat seolah ada yang menarik. Mendadak aku seberkas cahaya kuning yang buram di depan mataku. Kepalaku pening sekali.

Kubuka mataku.

Ternyata sudah pagi. Kumatikan lampu tidurku. Kulihat langit dibalik gorsen sudah sangat terang. Perlahan aku bangkit karena aku tidak mau membangunkan istriku yang masih tidur. Untungnya ini hari Minggu jadi aku tidak perlu terburu-buru bangun. Beberapa saat aku duduk di tempat tidur sambil mengumpulkan nyawaku. Kucoba mengingat apa yang baru saja kuimpikan. "Ah mimpi buruk lagi," bisikku sambil tersenyum.

Perutku yang menggeram memaksaku untuk berjalan menuju kamar mandi. Sambil berjalan aku mensyukuri hidupku yang baik-baik saja. Aku belum pernah bertengkar hebat dengan istriku tersayang seperti apa yang kutakutkan sewaktu kecil dulu. Aku pun bisa menafkahi keluargaku dengan cukup baik, meski tidak dengan limpahan uang sebanyak di gudang uang Gober Bebek. Mungkin belum sekarang, tetapi aku tahu aku akan siap jika Tuhan memberikanku anak suatu hari nanti. Dalam doa-doa aku selalu berjanji untuk menjadi ayah yang baik.

Sebelum masuk kamar mandi tak sengaja kumelihat boneka beruang kesayanganku. Fisiknya tidak lagi sebagus saat pertama kumembelinya. Kini ia kuabadikan ke dalam kotak kaca sebagai pajangan rumah yang sangat indah. Sangat berarti. Aku berjalan mendekat dan membuka kotaknya. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, aku mengambilnya lalu memeluknya erat-erat. Perlahan kehangatan yang kami lampaui bertahun-tahun kembali datang. Mungkin aku lemah, tetapi bersamanya aku tahu bahwa aku bisa belajar menjadi lebih kuat.

Aku memeluk beruang lebih erat, bukan lagi karena takut, tetapi karena aku tahu jauh lebih susah untuk sekedar memastikan mimpi itu tidak akan datang lagi.

Ya, jauh lebih susah.....................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog