Perjuanganku untuk Move On..... [CERPEN]
Tatapan nakalmu merayuku. Aku sudah tak sanggup lagi kalau begini. Ingin rasanya kucubit dua pipimu keras-keras. Sayangnya aku tidak bisa melakukannya. Kamu hanyalah sebuah foto kecil di ruang tamuku. Dan aku sedang sendiri, tidak ada yang menggantikanmu.
Mungkin lebih lucu kalau kamu mati sehingga aku tidak merasa sebodoh ini. Aku tahu hati hanya merasakan apa yang datang kepadanya. Ini semua salah otakku yang terus menyimpanmu. Kau selalu terbayang seolah aku belajar untuk tidak melupakanmu. Namun kita semua tahu aku harus move on. Harus. Karena tinggal aku yang belum move on. Tinggal aku.....
Dan setiap kucoba melanjutkan hidup aku selalu ingat ketika kau menatapku. Hari itu... Ketika kita berdua berlomba menyimpan memori sebanyak-banyaknya. Padahal hati mungkin sedang merasakan cinta yang salah. Bukan, mungkin bukan cinta. Apapun itu sepertinya salah. Salah karena kakiku kini kaku tak bergerak di ruang tamu. Tanganku erat memegang pegangan kursi. Bumi seolah menahanku untuk melakukan apapun. Mungkin jiwa ini takut mengalami sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ya, aku tak pernah jatuh secepat ini. Sehebat ini. Sebodoh ini.
Aku hanya benci kenyataan bahwa semesta tampak sangat agresif waktu itu. Padahal aku tidak aku mengatakan apa-apa, tetapi seolah kita berdua sudah berbincang berjam-jam. Alam tahu kisah kita tidak perlu basa-basi. Bahkan tak perlu dialog klise yang selalu ada di sinetron-sinetron Korea. Udara yang menyelimuti pun sudah cukup romantis. Riuh rendah orang yang berlalu-lalang di samping kita pun sudah romantis. Senyumanmu pun sudah romantis.
Aku ingat saat itu berharap datang bel sekolah yang bisa segera mengakhiri momen itu.
Namun pagi sudah berganti pagi. Perasaan itu sudah tinggal memori yang sia-sia. Hmm.... Mungkin memang sudah saatnya hatiku melepaskan genggamannya. Seharusnya aku dari dulu beranjak dari kursi ini. Ya, kau pun pasti menungguku melakukan itu. Kutaruh fotomu dan kukembalikan ke atas meja. "Ingatkan aku untuk mencari kardus,"bisikku. Aku berdiri dari bangkuku dan masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Beberapa saat aku yang sudah siap kembali melewatimu di ruang tamu. Kamu tersenyum. Sontak aku menghentikan langkahku.
"Setidaknya kau tidak membuangku, ya kan?" tanyamu.
Aku mengangguk.
Mungkin lebih lucu kalau kamu mati sehingga aku tidak merasa sebodoh ini. Aku tahu hati hanya merasakan apa yang datang kepadanya. Ini semua salah otakku yang terus menyimpanmu. Kau selalu terbayang seolah aku belajar untuk tidak melupakanmu. Namun kita semua tahu aku harus move on. Harus. Karena tinggal aku yang belum move on. Tinggal aku.....
Dan setiap kucoba melanjutkan hidup aku selalu ingat ketika kau menatapku. Hari itu... Ketika kita berdua berlomba menyimpan memori sebanyak-banyaknya. Padahal hati mungkin sedang merasakan cinta yang salah. Bukan, mungkin bukan cinta. Apapun itu sepertinya salah. Salah karena kakiku kini kaku tak bergerak di ruang tamu. Tanganku erat memegang pegangan kursi. Bumi seolah menahanku untuk melakukan apapun. Mungkin jiwa ini takut mengalami sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ya, aku tak pernah jatuh secepat ini. Sehebat ini. Sebodoh ini.
Aku hanya benci kenyataan bahwa semesta tampak sangat agresif waktu itu. Padahal aku tidak aku mengatakan apa-apa, tetapi seolah kita berdua sudah berbincang berjam-jam. Alam tahu kisah kita tidak perlu basa-basi. Bahkan tak perlu dialog klise yang selalu ada di sinetron-sinetron Korea. Udara yang menyelimuti pun sudah cukup romantis. Riuh rendah orang yang berlalu-lalang di samping kita pun sudah romantis. Senyumanmu pun sudah romantis.
Aku ingat saat itu berharap datang bel sekolah yang bisa segera mengakhiri momen itu.
Namun pagi sudah berganti pagi. Perasaan itu sudah tinggal memori yang sia-sia. Hmm.... Mungkin memang sudah saatnya hatiku melepaskan genggamannya. Seharusnya aku dari dulu beranjak dari kursi ini. Ya, kau pun pasti menungguku melakukan itu. Kutaruh fotomu dan kukembalikan ke atas meja. "Ingatkan aku untuk mencari kardus,"bisikku. Aku berdiri dari bangkuku dan masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Beberapa saat aku yang sudah siap kembali melewatimu di ruang tamu. Kamu tersenyum. Sontak aku menghentikan langkahku.
"Setidaknya kau tidak membuangku, ya kan?" tanyamu.
Aku mengangguk.
Komentar
Posting Komentar