Lusiana's Lays [A Short Story]

Ini adalah cerpenku bertahun-tahun lalu.

Terinspirasi dari momen ketika tanpa sengaja aku duduk sebangku sama seorang cewek, penggemar K-pop. Kalau dibandingkan cerpen-cerpenku sekarang rasanya aku dulu lebih "jago" menyusun kata-kata yang puitis. Mungkin karena aku dulu lebih polos kali ya? Hehe....

'Lagu-Lagu Lusiana' sendiri merupakan satu-satunya cerpen yang (bisa) kujadikan sebuah film pendek. Alhamdulillah banget! Aku rasanya harus sangat berterima kasih terhadap Mindi, Ghofur, Albert, Syafrida, Catur, Mas Firza, Oca dan Mas Novan yang telah terlibat dalam proses produksi dan distribusi film ini. You guys are forever awesome!

Film ini sendiri sudah sempat diputar di S-Express Thailand 2016, screening Join Movie Community serta Yuk Sri Sinema 2016 dengan jumlah penonton yaah.... mungkin nyampe 100 orang (belum termasuk jumlah views di youtube). Sebenarnya banyak yang nggak tertarik sama filmnya, tapi personally aku suka banget (?). Namun memang harus kuakui yang kurang dari filmnya adalah penyutradaraannya (which was my fault as THE director). Trailer-nya kalian bisa lihat di channel youtube-ku, tetapi filmnya sendiri ku-private because...... reasons. Oke, langsung aja deh~

LAGU-LAGU LUSIANA
oleh andika hilman

'Apa kau percaya cinta?'

Ya, kau percaya. Aku melihatnya dari tatapan matamu. Mata yang diteduhkan oleh berbaris kain. Kain yang melindungi rambut-rambutmu. Mata yang berada di atas bibirmu. Bibir yang indah, yang tersenyum. Bibir yang diam, tersenyum, lalu diam lagi. Hanya itu yang sedari dulu kuperhatikan. Bibir dan matamu. Bibir ketika kau tak melihatku, mata ketika kau bicara padaku.

Kutanya lagi pertanyaan itu padamu,'Apakah kau percaya cinta?'.

Kau tersenyum. Senang. Kau menikmati hidupmu. Kau bukannya mendengarkan aku. Kau sedang membayangkan pria itu. Seolah kau telah menerima cinta. Membayangkan seolah pria yang jauh itu merasakan apa yang kau rasa. Kau mencintainya, bersama dengan jutaan wanita lain di dunia ini. Dan dia hanya tersenyum di tempatnya. entah apa maksudnya. Mungkin supaya lebih banyak wanita yang mencintainya.

Percakapan kita berakhir. Cinta... Aku tak sanggup menanyakan hal itu padamu. Hatiku kuat, tetapi bibirku lemah. Ia hanya bisa bergumam dari balik setiap pertanyaan. Sedari tadi aku hanya membatin saja...

Sekarang kau mengeluarkan HP-mu. HP yang sangat mahal. HP yang dibalut oleh karet merah. Seperti warna yang kau pendam selama ini, kepadanya. Kepada suara yang penuh dalam daftar lagumu. Hanya dia yang kau tunggu. Menyanyikan beberapa baris lagu saja, lalu menari lagi. Menari bersama laki-laki lain.

Laki-laki yang cantik.

"Lusi, aku suka sama kamu," akhirnya aku pun mengatakannya. Liriiiih sekali. Dan kupastikan ia tak akan bisa mendengarnya. Telinganya hanya ingin mendengar suara pria itu, keluar dari earphone-nya. Ia rindu suaminya yang tak kunjung pulang. Ah, dia bahkan takkan pernah membayangkan pria itu datang ke sini. Ia yang akan ke sana. Ia yang akan menjemput cinta. Menjemput takdir! Menjemput cita-citanya....

"Apakah kau percaya jodoh, Lusiana?"

Aku menatap ke depan, lurus. Ia terus memandang HP-nya, aku tidak peduli. Tanganku terlipat di atas meja. Rapi sekali seperti anak TK yang baru masuk ke sekolah. Seperti aku juga, yang baru pertama kali masuk ke dalam hati seorang wanita.

"Aku suka padamu. Dari dulu. Sejak kelas satu. Sejak aku perhatian padamu. Sejak kau perhatian padaku. Sejak aku tersenyum dan kau ikut tersenyum. Sejak kau nyaman di dekatku. Sejak aku jauh merasa lebih nyaman di dekatmu....

Mengapa kau ingin menikahi pria itu? Pria yang bahkan tak mengenalmu. Aku mengenalmu, Lus! Aku di sini, di sebelahmu! Aku akan selalu ada untukmu. Seperti kau selalu ada di sini. Di hatiku...."

Lusi tidak menjawab.

Masih senyap. Masih tidak ada orang selain kita berdua. Dan aku masih ingin mengatakannya. Aku cinta...

"Percayakah kau akan takdir, Lusiana?

Ketika kita nanti berpisah. Kau yang merindukan sosok cinta, akankah kau jatuh dalam rayuan sembarang lelaki? Akankah kau hanyut dalam tatapan pria yang tak kau kenal. Pria yang akan mencoba mengenalimu, tanpa cinta. Hanya nafsu yang menggebu-gebu oleh pesona dalam hatimu.

Sementara aku takkan berpisah dari perasaanku. Aku telah tersangkut dalam wanita ini. Ya, kamu. Tentu saja kamu. Kamu tahu apa tentang cinta? Kamu tahu apa tentang perasaanku? Apa itu yang ingin kau katakan??

Kau tahu aku suka sama kamu. Kau seharusnya tahu. Kau yang selalu kupikirkan. Kau yang mampu memotivasiku untuk terus berdiri. Hanya dengan melihatmu, aku kuat. Aku ingin mencintaimu, Lusi. Aku ingin bersamamu sampai habis hidup ini.

Kau tahu aku akan setia kepadamu...."

***

Aku ingat kata-kata itu. Dan itu benar. Sudah 5 tahun sejak kita duduk sebangku dan aku belum jatuh pada siapapun. Tak ada satu wanita pun yang sanggup menggoyahkan perasaan ini. Aku masih padanya. Ia masih dalamku. Meski ia sekarang ia jauh. Jauh di negeri orang. Di negeri suaminya, katanya. Sosok yang entah ia akan menemukannya atau tidak. Sosok yang entah akan melamarnya atau tidak. Ia tak peduli. Ia di sana sekarang. Berbicara bahasanya, makan makanannya, mandi airnya, belajar ilmunya, membelanjakan mata uangnya, tidur dalam udaranya....... Ia sedang mencari cinta sejatinya.

Ia masih ingin mencintai pria cantik itu. Itulah kata-kata terakhirnya. 5 tahun yang lalu....

"Benarkah itu, Zal?" tanya Lusi. Aku menoleh. Ternyata ia telah melepaskan earphone-nya.

"A... A... Aku....," aku tak sanggup menjawab apapun. Aku shock. Ini sudah di luar naskah.

Tiba-tiba ia memelukku. Kepalanya berada di samping pipiku. Ia sangat dekat, sampai aku bisa mencium cherry dari tubuhnya. Aku ingat saat itu ia berkata,"Terima kasih...."

"I.. I... Iya," aku masih shock, tetapi senang. Aku ingin memeluknya juga, tetapi tanganku tak bisa digerakkan. Terlalu lama aku memberanikan diriku sampai ia telah melepaskanku kembali.

"Tapi maaf. Aku... Tidak bisa......"

"Kenapa?"

"Aku mencintai dia! Calon suamiku. Kau tahu itu. Maaf, Rizal. Aku tak bisa bersamamu...."

Setelah mengatakan hal tersebut ia pergi. Ia membereskan barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas lalu pindah ke bangku lain. Saat itu juga bel tanda masuk berbunyi. Satu per satu anak mulai kembali kelas. Itulah saat terakhir aku duduk sebangku dengan Lusi. Cinta pertamaku.....

***

"Apakah sekarang kau masih percaya pada cinta, Lusiana?"

Sekarang ia entah berada di mana... Bersama siapa.... Mencintai siapa.... Apakah aku percaya cinta? Ah, mungkin iya. Mungkin juga tidak. Mungkin cinta memang bukanlah berupa manusia. Cinta hanyalah berupa rindu yang tak dapat kusampaikan. Padanya....

Dan bagi Lusi, cinta adalah sesosok pria yang telah menemaninya siang dan malam. Pria yang selalu bisa menghiburnya. Meski pria itu juga menghibur jutaan wanita lainnya. Lusi cinta pada pria itu. Meski ia takkan pernah bertemu dengannya. Lusi rindu pada imajinasinya.

Ia hanya ingin pria itu.......







Cinta...
Mungkin hanyalah sekedar lagu-lagu yang ingin manusia dengarkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog