CERITA PALING TIDAK BAGUS


'Semoga tidak ada orang di sini,'pikirku sambil mengikutimu yang marah keluar ke atas gedung. Angin ternyata terasa cukup kencang di sini. Langit terasa begitu terang walaupun sedang mendung.

Mungkinkah hanya perasaanku saja karena terlalu lama berada di dalam?

Kamu diam memandangi langit, membelakangiku. Aku tak berani mendekat, tapi ku juga heran kenapa kau berhenti berbicara. Mungkin sama sepertiku, kau kaget karena di luar terasa lebih terang daripada yang kau kira. Sayang tak lama aku merasakan satu-satu tetes air berjatuhan. Aku tidak tahu denganmu, tetapi untungnya hp dan dompetku sudah aman di dalam tas. Walaupun aku lupa di mana kutaruh tasku, tetapi sepertinya aman-aman saja. Intinya aku sudah siap berlama-lama di sini denganmu. Mendengarkan apapun yang akan kamu katakan padaku sore ini. Mau hujan-hujanan, mau tersambar petir pun aku tak takut. Selama itu buat kamu.

"Aku memang tak berhati besar!"teriakmu, akhirnya setelah diam panjangmu. Kau membalikkan badan dan berjalan ke arahku. Aku mencoba memasang muka tenang. "Hatiku tak cukup besar untuk memahami hatimu,"katamu lagi.

"HATIKU tak cukup besar untuk memahami hatimu di sana,"jawabku. Singkat. Jelas. Kau menatapku dalam-dalam dalam diam. Mungkin sedang mencari kata-kata yang tepat, seperti biasanya. Aku heran kenapa orang sependiam kamu bisa sangat cerewet kamu kalau sedang ngomel, tetapi kembali jadi pendiam ketika sudah sangat marah. Haha... Kalau dipikir-pikir lucu juga aku bisa mengidentifikasi amarahmu. Kita memang terlampau sering berkelahi. Lucu karena cuma kamu orang yang marahnya bisa kupahami sedalam ini. Oh, aku bisa berbicara selama sejam hanya untuk membahas caramu marah.

"Aku memang tak berlapang dada untuk menyadari apa yang terjadi selama ini,"ucapmu.

"AKU yang tak berlapang dada untuk menyadari apa yang terjadi selama ini,"jawabku tenang. Kau menghembuskan nafas panjang dan berbalik berjalan menjauhiku. Kau tampak saaaangat kesal.

"Dengar! Dengarkan aku!" Kuraih tanganmu dan kugenggam sangat erat karena kutahu kau akan segera melepaskannya. Aku pun lanjut berbicara,"Aku akan bertahan sampai kapanpun." Aku merasakan tangannya melemas. Kulepas genggamanku. Kau diam. "Sampai kapanpun....."kataku lagi.

Tiba-tiba kau genggam tanganku dan menarikku lagi. 'Ah, kau capek berdiri?' batinku. Kau duduk di atas pipa-pipa besi. Aku pun segera duduk di sampingmu. Ya aku juga lelah jika jadi kamu, segalanya harus serba sempurna. Segalanya harus serba dramatis. Serba emosional.

"Andai.... Aku dapat merelakan sesaat kepingan butiran kenangan indah ini,"katamu.

"Andai AKU dapat merelakan...." kudiam sejenak untuk menekan kalimatku selanjutnya,"Kepingan butiran kenangan indah tentangmu!"

Setelah sekian detik berpikir kau berbicara lagi,"Andai aku sanggup menjalani setiap detik dan waktu mendatang...."

Aku pun menjawab,"Andai AKU sanggup menjalani detik dan waktu mendatang dan, oh, dengar!" Kuraih kedua bahunya supaya ia terpaksa melihatku. "Dengarkan aku! Aku akan bertahan..."
"....Sampai kapanpun," potongmu.

Kulepas genggamanku. Akhirnya kulihat dua bola mata yang tampak sangat sendu. Oke, aku mulai merasa bersalah. Aku memeluk lututku dan menatap ke atap gedung di bawahku. "Sampai kapanpun,"kataku sambil mengangguk.

Aku kembali teringat dengan tasku di dalam. Sudah ada dua tiket pesawat di dalamnya. Aku cukup lega telah mengemasi barang-barangku di rumah. Namun mungkin hati ini tak akan lega meninggalkanmu di sini sendirian. Walau aku berjanji aku tidak akan melakukan nakal di sana. Aku sudah berulang kali meyakinkanmu bahwa dia cowok baik-baik. Cuma sahabat. Aku cuma butuh me time. Namun kamu terlalu cemburu untuk meninggalkanku berdua dengannya. Rasanya aku ingin teriak bahwa kau tak perlu takut kalah tampan, kalah kaya, ataupun kalah berkarisma dengannya. Kenapa? Ya karena....

"Aku mencintaimu,"ucapmu tiba-tiba.

'Ah, iya karena itu! Karena aku sudah terlanjur mencintaimu. Karena aku percaya kalau cinta ya nggak akan mungkin berpisah. Ya kan sayang?'kataku, dalam hati lagi, seolah aku belum berani terbuka pada kekasihku yang satu ini.

Aku memelukmu. Kau membalas memelukku. Akhirnya hujan pun mengguyur kita berdua. Aku tak akan tahu bagaimana cara menjelaskan hal ini ke orang-orang kantor. Ah tapi sudahlah! Yang penting sekarang cuma kamu. Hari ini cuma buat kamu. Hari ini saja....

"Maaf," bisikmu, "Maafkan aku yang tak sempurna tuk dirimu."

Aku mengangguk dan menepuk-nepuk pundaknya yang jauh lebih besar dariku yang mungil. "Iya, aku ngerti kok!" balasku.

"Maaf.... Usahilah sudah kisah yang tak sempurna ini," katamu.

Aku melepaskan pelukanku. "Apa?" tanyaku meyakinkan apa yang baru saja kudengar.

"Ya, tak cukup sempurna untuk kita kenang. Ceritanya nggak bagus. Sudahlah, kita putus." Kau tersenyum, sebelum masuk kembali ke dalam gedung. Meninggalkanku sendirian dan basah kuyup.
Sesaat kusadari bahwa di luar memang terang. Badai malam ini jauh lebih terang daripada hubungan kita. Lalu tanpa sengaja kuraba celanaku dan, oh tidak, ternyata hapeku ada di situ! Segera kucoba nyalakan, tetapi gagal. Namun kukira aku akan sedih karena hp baru pemberian sahabatku tersebut baru saja mati. Ternyata tidak. Baru saja ada hal lain di dalam dadaku yang mati dan entah mengapa terasa sangat perih.....

"Sampai kapanpun?" tanyaku pada diriku sendiri.












(Terinspirasi dari lagu Samsons - Kisah Tak Sempurna)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog