Berdilatasi

BERDILATASI [Cerpen]
oleh Andika Hilman


Bel itu berdering.

Di atas. Di atas menara tinggi yang menjulang. Aku punya mata, tetapi aku tidak melihat. Puisi adalah puisiku. Dan puisi bukanlah teman semua orang. Ya, bel itu berdering. Aku tahu! Dan aku mengiyakan bahwa ini sudah tengah malam. Sayangnya mataku tidak melihat, hanya merasakan. Mungkin karena puisi adalah puisiku. Ah seandainya puisi bukan puisiku mungkin aku sudah menatap matamu!

Lucu. Aku berharap bisa melakukan dua hal bersamaan. Namun aku tidak bisa memanipulasi sambil berjujur. Aku tidak mau membohongi sambil bertulus. Aku tidak bisa mengalir sambil menahan kontraksi. Aku selalu berkontraksi. Aku hanya ingin tahu apakah kamu membawa cermin di dalam tasmu? Kenapa? Karena kulihat kau dari tadi mondar-mandir di hadapanku! Aku tidak bisa menyuruhmu berhenti, terlalu jauh! Kau tidak bisa mendengar teriakanku yang sepi.....

Bel itu berhenti berdentang. Dua belas kali, sudah kupastikan. Waktunya Cinderella kembali ke rumah ibu tirinya. Kehidupan nyatanya. Kau tahu, kadang seorang penulis terlalu malas menulis sesuatu yang tidak penting. Apakah kau tahu bahwa perasaan Cinderella begitu terluka ketika ia kembali dari pesta di istana? Bayangkan, dalam semalam ia menjadi putri tercantik di kota dan bersamaan dengan itu cinta merasuki jiwanya. Namun beberapa menit kemudian ia tahu bahwa semua itu hanyalah mimpi di siang bolong. Hanya Cinderella yang tahu betapa sakitnya merasakan mimpi yang tidak seharusnya ia dapatkan. Dan dimulai sejak pagi menjelang ia harus kembali menjadi wanita dewasa. Wanita yang kuat dan tegar. Wanita yang mungkin bahkan tidak butuh cinta seumur hidupnya. Lupakan baper dan galau, dia depresi dan ia sadar harus segera beranjak dari semua perasaan itu segera! Apakah kau pernah mendengar cerita itu? Huh, bahkan penulisnya pun mungkin tidak mau tahu!

........Atau mungkin terlalu menyakitkan untuk diceritakan.

Dan aku, seorang laki-laki busuk biasa, harus hidup pada cerita yang tidak menarik. Cerita yang orang tidak ingin dengar. Aku figuran dalam filmku sendiri. Aku benci mengakui bahwa aku diam-diam aku mempercayai sebuah kebohongan bahwa setiap lubang kunci hanya bisa dibuka oleh kunci yang pas. Bullshit! Pamanku membongkar pintu kami dengan obeng tadi pagi, kau tahu? Dan aku, seorang laki-laki busuk biasa, harus mengakui bahwa cerita yang kujalani sangatlah super membosankan.

Aku bahkan tak tahu apakah ini menara gereja atau apa. Aku hanya berpuisi setiap malam berharap langit dan bintang-bintang masih mau menemani, setidaknya, jika mereka sudah lelah menyimak. Aku bukan pencipta. Langit bagiku hanya langit. Tidak bsia kubayangkan suatu masa tinggalah seorang pangeran yang berburu mawar di luar angkasa. Aku hanya berpuisi seperti orang bodoh. Hanya bisa mendengarkannya berdendang. Sepanjang malam, lalu sembunyi saat matahari menyambut sang tokoh utama.

Dan ketika bel itu berdenting lagi aku harap aku sudah bisa melihat. Aku lelah hanya bsia mendengar, aku juga mau melihat! Walaupun aku sadar ceritaku buruk dan aku pun bodoh menjalaninya, terkadang aku juga berharap akhirnya ceritanya bahagia. Mungkin aku akan mati, seperti yang selalu kuharapakan, teapi aku juga ingin lho mati terhormat. Ingin sekali!

......Karena aku tidak percaya bahwa kehidupanku adalah fiksi singkat belaka. Aku marah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog