Aku Setuju Banget Ada DLP (Dokter Layanan Primer)!!!

Aku setuju dengan diadakannya program DLP (Dokter Layanan Primer) bagi profesi dokter! Namun sebelum aku mengungkapkan alasannya mari kita cari tahu dulu apa sebenarnya apa sih DLP itu?

APA ITU DLP?
DLP adalah program yang dicanangkan Kemristekdikti (pokoknya yang ngurus perguruan tinggi) dan Kemenkes (kesehatan). Intinya lulusan pendidikan kedokteran harus mengikuti kuliah lagi dan diuji lagi untuk mendapat kompetensi DLP. DLP sendiri adalah dokter umum, tetapi derajatnya setara dengan dokter spesialis. Kenapa? Karena dokter umum adalah dokter garda depan yang menangani hampir semua aspek kesehatan, yang mana itu relatif sama beratnya dengan dokter spesialis. Menurut Guru Besar FK UI Prof. dr. Budi Sampurna DLP adalah suatu apresiasi lebih terhadap dokter umum. “Ini bentuk penghargaan kepada DLP yang memberi layanan primer, soalnya kita yakin betul negara yang bagus akan meningkatkan pelayanan primernya, sehingga bisa menciptakan masyarakat sehat hingga ke pelosok,” tegasnya pada sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di gedung MK, Selasa (03/2).

KENAPA AKU SETUJU?
Menurutku DLP ini bagus buat sistem pendidikan kedokteran itu sendiri. Sebagai mahasiswa kedokteran aku sadar bahwa kami dituntut untuk lulus dan menjadi dokter, sehingga sistem pengajarannya berfokus hanya pada 'apa yang penting untuk diajarkan kepada calon praktisi klinis'. Akibatnya tidak ada ruang untuk mempelajari ilmu kedokteran dasar itu sendiri. Waktu dan kesempatan belajar tentang kedokteran secara teoritis dimakan habis oleh tuntutan menguasai ilmu praktis saja. Sedangkan menurutku pendidikan kedokteran seharusnya memberikan ruang sebesar-besarnya bagi siapapun yang mau menekuni ilmu kedokteran itu sendiri, bukan hanya calon klinisi saja. Prof. Budi pun mengatakan hal yang senada,"Nanti profesi dokter itu, kariernya bisa dibentuk menjadi pendidik, DLP, spesialis, atau peneliti," ujarnya. Jadi intinya lulusan kedokteran punya lapangan pekerjaan yang lebih luas, tidak hanya klinisi. Mahasiswa yang memang tertarik untuk menjadi klinisi ini sajalah yang nanti akan diarahkan ke program DLP.

KONTRADIKSI DLP : KULIAH KEDOKTERAN JADI SEMAKIN LAMA
Menristekdikti Mohamad Nasir seusai melakukan Rapat Koordinasi Pembukaan Program Studi Dokter Layanan Primer dengan Kementerian Kesehatan, organisasi profesi, dan Rektor dari beberapa universitas negeri dan swasta dari seluruh Indonesia Kamis (16/6) lalu mengatakan bahwa Menkes mengajukan penyelenggaraan pendidikan DLP dengan waktu belajar minimal dua tahun". Banyak pihak yang protes karena pendidikan kedokteran sendiri saja sudah 3,5 tahun (pendidikan pre-klinik) yang ditambah dengan ko-asisten aka. koas selama 2 tahun dan harus dilempar ke pedalaman dengan menjadi dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) selama 2 tahun sebelum mendapatkan SIP (Surat Ijin Praktek).

Menurutku dengan dibentuknya DLP harus ada rombakan kurikulum dan lama perkuliahan kedokteran itu sendiri. Jadi tidak masuk akal jika prgram studi ini dibuka pada tahun 1 September 2016 jika menurut Kemristekdikti. Program DLP tidak bisa seenaknya masuk dan membuat calon dokter lulus jauh lebih lama dari sebelumnya, harus ada persiapan yang matang.

Dengan adanya DLP seharusnya pendidikan pre-klinik bisa dipersingkat karena sudah tidak mencakup tuntutan untuk menjadi praktisi klinis. Sedangkan ko-asisten dan PTT sendiri bisa dipadatkan dalam program DLP karena ketiganya sama-sama bertujuan untuk membentuk dokter layanan primer. Padahal sebelumnya dengan melampaui program ko-asisten peserta didik sudah dianggap berkompeten untuk menjadi dokter umum. Jika DLP merupakan program untuk mempersiapkan calon klinisi dan bukan sekedar uji kompetensi tingkat nasional, maka DLP tidak boleh dipisahkan dengan pendidikan klinisi di perguruan tinggi, termasuk ko-asisten. Intinya harus dipadatkan.

Jadi skemanya mahasiswa baru akan mengikuti perkuliahan kedokteran pre-klinis dengan kurikulum yang sudah disesuaikan. Lulusannya, yaitu sarjana kedokteran, yang ingin berprofesi menjadi dokter baru mengikuti program DLP. Sedangkan lulusan sisanya harusnya sudah dalam kondisi siap menjalani profesi, entah sebagai peneliti, pendidik, atau berkolaborasi dengan ilmu lain (dengan melanjutkan studi), seperti hukum, manajemen klinik dan rumah sakit, kesehatan masyarakat, psikologi, dan semacamnya. Dengan begitu dokter yang terjun ke masyarakat memang sudah teruji kompetensinya karena mendapat pendidikan yang lebih profesional.

Sisanya masalah dualisme lembaga penyelenggara maupun ketidaksesuaian dengan undang-undang memang semuanya harus disesuaikan jika memang serius ingin menggunakan program DLP. Tidak boleh terburu-buru dilaksanakan seperti apa yang terjadi sekarang. Harus dimatangkan dulu.

KESIMPULAN
Tahun belakangan ini sepertinya memang jadi tahun yang berat bagi komunitas kedokteran. Mulai dari kriminalisasi dokter, BPJS yang belum matang sampai program DLP ini. Semoga kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah memang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat untuk janga panjang, bukan karena mumpung sedang menjabat jadi harus membuat program yang besar dan muluk-muluk supaya terlihat 'kerja'. Terlebih lagi semoga bukan karena kepentingan pribadi para petinggi, seperti uang dan semacamnya. Hal-hal seperti ini harus dikerjakan secara maksimal dan sinergis dengan seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.

Selain itu mungkin kursi-kursi jabatan itu butuh anak bangsa yang terbaik, bukan the 2nd best yang prioritasnya hanya mencari uang, tetapi tidak mampu bekerja secara profesional. Semoga dokter-dokter kita tidak melulu merasa tidak aman dengan profesinya sehingga mereka bisa keluar dari 'zona aman'. Karena dalam hati mayoritas dokter pasti juga ingin melayani rakyat dan negara dengan sebaik-baiknya.......

Referensi:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog