Air 2.2: Berkeringat Jahat

BERKERINGAT JAHAT
oleh Andika Hilman

Hahahaha!

Mengapa? Aku melihatmu dari jauh. Bercakap dengan para pria itu. Selalu. Tampak bahagia. Selalu. Sepertinya seru sekali. Mereka asik ya? Atau kamu hanya baik? Atau kamu hanya mengikuti arus waktu membawamu. Aku melihatmu, selalu, menjadi dirimu sendiri. Menjadi manusia paling tidak sempurna di dunia. Mengapa? Mengapa aku masih memperhatikanmu? Aku benci manusia, mengapa aku masih melihatmu? Masih banyak yang lebih indah di luar sana, pastinya. Tapi mengapa? Mengapa selalu?

Lucu sekali.

Ketika aku akhirnya bercakap denganmu... Ketika aku akhirnya menatap matamu... Entah mengapa aku seakan melihat cinta. Lengkap dengan musik pelan mengiringi momen itu. Padahal aku tak berkata apa-apa, hanya sampah. Hanya satu kalimat tanpa makna. Candaan yang tidak hanya tidak lucu, tetapi mudah dilupakan. Hahahaha! Aku masih tidak tahu mengapa saat itu aku melihat cinta?

Apakah yang di matamu itu benar-benar cinta?

Memangnya apa itu cinta? Ah, bodo amat! Aku tidak peduli dengan istilahnya, yang pasti aku melihat sesuatu yang berbeda di matamu. Sesuatu yang.... Tidak ada di mata orang lain.

Panas sekali.

Iya, siang itu. Tapi bukan matahari yang membuatku berkeringat. Bukan kehadiranmu, tetapi ketiadaanmu. Berkat imajinasi yang selalu kupeluk sebelum tidur nanti malam. Berkat cerpen-cerpen tentang bagaimana kita bertemu. Bagaimana kita menghabiskan waktu berdua. Bagaimana aku memegang tanganmu. Memeluk pundakmu. Menatap matamu. Mengkode ke arah yang lebih jauh. Cerpen tentang bagaimana kamu melihat mataku lalu turun ke bawah. Mengikuti tanganmu yang lapar, tetapi tidak tahu mau makan yang mana dulu. Mengenai kakimu yang minta diperhatikan. Mengenai desahanmu ketika aku turun ke bawah. Kenikmatan ketika aku menyentuh tepat di tempat yang kau idam-idamkan. Menikmati menit demi menit yang berlalu begitu saja. Hanya dengan satu rasa, yaitu keindahan. Lalu diam-diam kita memikirkan hal yang sama. Beberapa detik kemudian seluruh tubuh ini mengerti apa yang harus kulakukan.

Lepas.....

Berdiri.....

Rumahmu.....

Montase yang melelahkan membawa kita menyusuri Surabaya yang panas, menghampiri kamar mandimu yang dingin airnya. Menemui remang-remang kamar saat kau matikan saklar lampunya. Berkeringat. Aku pun menyentuhmu, entah di mana. Lalu cinta memeluk kita berdua, kuharap. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta...........

Cinta mengantarku tidur setiap malam.
Hanya ketiadaanmu yang bisa mengantarku tidur.

Hahahaha!

Tapi ini masih siang. Aku masih dihadapanmu. Aku masih tak tahu harus berkata. Kita masih orang asing. Sekedar saling kenal. Teman tapi bukan teman. Atau mungkin bukan siapa-siapa.

Seekor hiu putih menggigit bagian tubuhku yang kau idam-idamkan, lalu meninggalkanmu begitu saja. Ini belum malam, ini siang. Namun setetes air keringatmu telah melukai tubuhku seluruhnya. Hahahaha gila! Gara-gara kamu. Ya, aku memang pantas terluka.
Tapi kamu:

Jahat.






[Baca serangkaian kisah Air 2 di:
1. Hiu Putih dan Kamu
2. Berkeringat Jahat
3. Cerita Lama
4. Bahuku Basah, Mataku Tidak (END)
dan Baca juga kisah Air 1: dan Mutiara]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog