Tak... Kut

TAK... KUT
oleh Andika Hilman

Aku masih disampingnya. Terduduk. Mencium wangi parfum yang dipakainya. Menyengat, namun merekatkan hangat. Mabukku olehnya. Hatiku tertawa-tawa.

Tapi percuma, tanganku tetap mencengkram kursi. Tak berani berdiri, datang, mendekat. Hanya merunduk, bingung mau apa. Takut...

Sangat aku merindunya, namun aku tak berani mendekatinya. Keinginan yang sangat besar untuk bertemu dan berbagi rasa. Dan karena saking besarnya perasaan itu sampai aku tak bisa bergerak. Aku terkaku, tak bisa mendekat. Aku takut tuk mendekat. Aku takut jika indah yang pernah kurasakan kali itu takkan terulang sama.

Masih teringat ku saat melihat tatapan teduh itu. Bahu itu. Tubuh itu. Warna itu, baju yang sederhana namun menjadi luar biasa di mataku. Rambut hitam itu, dengan setiap ombak anggun yang diselingi pelangi kecil yang menjepit namun memperindah. Semua itulah yang menarikku tuk mendekatkan tanganku. Menyentuhmu. Mendekap dan mulai membaca satu demi satu cinta yang terucap. Terucap dari bibirmu yang hangat. Hangat yang kutahu benar itu benar-benar hangat. Hangat yang lagi-lagi indah. Kau membuatku tenggelam. Terlena oleh bisikan geli di telingaku, yang menyuruhku untuk melangkah lebih dekat.

Lebih jauh lagi aku teringat saat aku masih mengenalmu masih berupa nama. Tak mau aku berlebihan, bagiku dulu nama itu biasa saja dan tak ada istimewanya. Namun ketika ku tahu itu kamu baru aku sadar: yang istimewa adalah pemilik nama itu.
Dan itu kamu...

Sama. Ketika aku pertama kali didudukkan dalam suatu ruang denganmu.. Sama (biasa saja). Kehadiranmu tak kusadari, belum. Aku masih melihat jiwa-jiwa lain yang hanya menang tampang. Mudah laku namun mudah pula dibuang.

Awalnya,
Mm.....

Awalnya memang tertarik. Sangat. Rekomendasi banyak orang mengantarkanku menujumu. Dan aku tak menyesal. Kau memang baik. Memang ceria. Cocok menemani hidupku yang sepi sendiri.

Berulang kali kita bertemu, bersapa, bercanda, saling berbalas perhatian... Tapi tak se-ckrzdshprt pun aku berani melangkah lebih jauh...
Berbeda.

Berbeda dengan baru saja. Tanpa angin yang bahkan berhembus mengering aku pun melakukannya. Tanpa keberanian tanganku menyentuhnya. Bermain. Bermain dengan kata-kata, dengan tangan masih menyentuhnya.

Dan kau pun menikmatinya. Kulihat kau menikmatinya (jantungku berdegup!). Dan kau bilang segalanya, apa adanya (jantungku berdegup lagi!). Kau menerima. Ya, kurasa. Itulah.. Tiba-tiba tanpa pikir panjang aku mengambilnya. Resiko pun tak kuperdulikan. Degup jantung yang menyesakkan paru-paru pun ku tak pedulikan.

Dan sekarang kau sudah di sini.

Dan rindu pun sudah mebuncah meledak-ledak.
Namun ku masih takut...
Takut tak merasakan keindahan yang sama saat pertama kali merasakannya.....
























Atau..
Mungkin aku hanya perlu mengulur waktu. Menyerahkannya pada 'penasaran' yang ketagihan..
yang akan membuat rasa yang berbeda.
Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog