Kisah Cinta 1000 Lantai #1: My Kind of Heaven

KISAH CINTA 1000 LANTAI #1
'MY KIND OF HEAVEN'
oleh Andika Hilman

Terang.

Cahaya dari layar komputer menyinari wajahku yang tidak bisa mengantuk. Sesekali aku mengintip melalu jendela, menikmati pemandangan kota. Gedung-gedung tinggi tampak super mini dari atas sini. Gemerlap lampu jalan mengalahkan cahaya bulan malam. Padahal setiap bulan ia berusaha untuk purnama, bersinar seterang-terangnya. Sama. Sama sepertiku yang terpaksa lembur lagi. Kantor 1000 lantai ini sudah seperti rumahku sendiri, bahkan mungkin aku sudah lupa bagaimana bentuk kamarku sendiri. Aku tak yakin bisa pulang, meski diizinkan, karena aku pun sudah lupa alamatnya. Aku tersesat, tapi aku betah di sini.

Tidak mudah, ternyata, bekerja. Tidak terlalu mirip seperti yang kubayangkan saat kuliah dulu. Tidak semembanggakan itu. Atau setidaknya ‘tidak’ setelah hampir setahun. Melelahkan, tetapi tidak menyebalkan. Namun bisa dibilang aku cukup menikmatinya. Meski melelahkan harus berpalsu ria dengan banyak orang, tetapi individualisme ini sangat cocok untukku. Aku benar-benar tidak punya siapa-siapa di sini, literally! Hanya ada mimpi tentang kenaikan gaji dan pangkat, tetapi karenanya aku bisa bertahan sampai sekarang.

Yah bisa dibilang....... Aku........... Bahagia.

Kini aku berjalan menyusuri trotoar yang biasa kulewati. Entah sudah selarut apa ini, tetapi purnama masih menemaniku. Ia terus mengikuti ke mana pun aku pergi. Selalu ada meski aku belok ke kanan maupun ke kiri. Bahkan ketika aku berdiri di bawah terang benderang lampu jalanan. Ia masih terus berusaha bercahaya seterang-terangnya, seolah mencari perhatian. Aneh sekali.

Aku bisa menyadari betapa tingginya kantor tempatku bekerja dari bawah sini. Orang-orang menyebutnya berlantai 1000 karena gedung ini merupakan yang tertinggi di kotaku. Bahkan mungkin tertinggi se-nasional. Entahlah, memoriku saat larut malam tidak terlalu baik. Satu-satunya hal yang kuingat adalah badanku rubuh di atas kasur rental, pada kamar yang disewa, di antara para penyewa individualis lainnya. Aku tertidur dan berangkat sepagi mungkin keesokan harinya. Setiap harinya.

***

“Damn!”

Aku ketiduran di atas meja! Kulihat jam yang menunjukkan pukul 10 pagi. “Fiuh, sepertinya cuma setengah jam,” bisikku dalam hati. Sambil memastikan tidak ada yang melihat, aku mengantar diriku ke kamar mandi. Aku hampir berteriak ketika melihat waha mengantukku di cermin. “Tidak, aku tidak boleh terlihat seberantakan ini. Tidak jam segini!”

Langsung tedengar riuh bisikan di ruang kantor begitu aku keluar kamar mandi. Mereka, terutama cewek-cewek, sedang mengamati pemandangan unik di luar jendela. Seorang pembersih jendela baru bersama teman-temannya tengah mengelap jendela lantai ini. Cowok ganteng tersebut memang sedang pembicaraan di sini. Bukan hanya karena pekerjaannya yang berbahaya dan menyeramkan, tetapi juga karena penampilannya yang sangat tampan. Memang sih dagunya yang tajam dengan rahangnya yang tampak kokoh, badannya yang tinggi dan berotot tetapi tidak berlebihan, rambutnya agak gondrong tetapi tampak maskulin, juga tatapan matanya yang tajam tetapi tidak peduli sehingga membuatnya tampak berkarisma. Namun jika mungkin ia tidak pernah menyelamatkan seorang cewek yang hampir bunuh diri, ia tidak akan menjadi pembicaraan seisi ruangan selama 3 bulan.

Jadi ceritanya seorang karyawati yang tengah hamil ditemukan sedang berdiri di pinggir gedung. Tidak ada seorang pun yang berani membujuknya untuk mengurungkan diri. Suatu saat ia benar-benar loncat, mungkin syok ketika ia melihat polisi tiba-tiba datang. Untungnya sang cowok tampan yang kebetulan sedang bersih-bersih di bawahnya langsung menangkapnya. Pemandangan tersebut terjadi tepat di lantai tempatku bekerja. Maka dari itu ruangan ini selalu heboh ketika ia lewat untuk membersihkan jendela kami dari luar. Lucunya mungkin si cowok tidak tahu kalau kami seheboh ini melihatnya karena jendelanya tidak bisa diintip dari luar. Ia bahkan tidak sadar sudah berulang kali difoto oleh cewek-cewek di sini.
Hal yang paling menarik dari cowok tersebut adalah sisi misteriusnya. Belum ada satupun karyawan yang pernah bertemu dengannya, baik saat dicari maupun kebetulan. Para cowok pernah mencoba mengunjungi lantai paling atas untuk mencari cowok tersebut, tetapi tidak banyak pekerja yang kenal dengannya. Ia terkenal penyendiri, tidak banyak bicara dan cepat menghilang. Kebanyakan dari mereka hanya tau nama panggilannya saja, yaitu ‘Di’.

“Ran, cogan tuh!” seru Hana, teman kantor yang mejanya berada di sebelahku. Aku mengiyakan sambil tersenyum kecil. Hana berkata lagi,”Aduh kok ada ya cowok kayak gitu? Gimana ya jadinya kalau dia jadi pacarku?” Ia lalu terkekeh, sedangkan aku hanya tersenyum. “Dia benar-benar tidak tahu apa-apa,”pikirku.

***

Dulu aku sempat bercita-cita menjadi dokter atau psikolog. Aku suka sekali mendengarkan orang berbicara. Aku senang menjadi tempat konsultasi orang akan masalah mereka. Aku merasa bangga jika ada orang yang mencurahkan masalahnya padaku, memberikan segala rasa sakit mereka padaku. Aku bahkan tidak peduli jika kami tidak berteman dekat setelah aku menyelesaikan masalahnya. Aku menikmati menjadi seorang ‘tempat sampah’.

Aku sedang duduk di apartemenku yang murah ini, menunggu seorang teman yang terlambat datang. Aku sudah menyiapkan sebotol coca-cola dan kentang goreng kesukaannya. Kesukaan kami. Kesukaanku saat malam seperti sekarang ini. Beberapa saat kemudian bel berbunyi. Aku segera membuka pintu dan membiarkannya masuk. Seorang pria tinggi berkemeja putih bercelana hitam duduk di sofa yang tadi kududuki. Dengan raut muka suram ia memenuhi asbak dengan bungkus lolipopnya. Aku menutup pintu lalu duduk di sebelahnya. “Apa kabar, sayang?” tanyaku.
"Kiranaaa~ Ya ampun maaf ya say aku ngrepotin lagi,” jawabnya.

“Iya, nggak apa-apa kok,” jawabku lalu tersenyum. “Ada apa memangnya, Di?”

“Itu lho biasa Si Bobi..... Eh, jangan panggil aku ‘Di’, dong! Bete tahu. Itu kan panggilan orang-orang kantor?!”

“Haha iya... Kamu sekarang terkenal banget lho, apalagi di ruanganku. Terus aku harus panggil apa nih? ‘Cin’? ‘Sis’?”
“Nggak lucu deh. Aku bukan banci ya... Gini-gini aku cowok tulen. Hampir..... Haha”

“Bercanda kok, sayang....”

“Panggil ‘Al’ aja deh!”

“Karena ‘Aldi’ ya? Boleh-boleh. Ya udah, gimana tuh kabarnya si doi?” tanyaku. Ia lalu cerita tentang gebetannya sesama jenisnya. Ia juga bercerita tentang pekerjaannya yang penuh cowok-cowok “tulen”, kondisi yang membuatnya sedikit tidak nyaman karena merasa sendirian. Ia tidak bisa berbicara ke siapa-siapa lagi selain kepadaku dan, tentu saja, aku dengan sangat hati menerimanya.

Haah... Aku senang sekali malam ini bertemu dengan seseorang yang sama-sama suka ketinggian, menikmati makanan tidak sehat dan menjadi konsultan seorang cowok tampan yang dikejar-kejar semua wanita. Meski purnama bukanlah cahaya paling terang di bumi, tetapi setidaknya aku tahu kalau angkasa adalah tempat yang sepi. Tempat yang sangat menyenangkan untuk menikmati hidup. Kalau bulan pun masih bercahaya, maka aku juga bisa bahagia di segala kekacauan ini. I love my life!
This is it.....




My kind of heaven.


















Baca selanjutnya : KCSL 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog