Halaman Belakang

HALAMAN BELAKANG
oleh Andika Hilman

Ia duduk di sampingku.

Tangannya gemetar. Kakinya menepuk-nepuk bumi tanpa henti. Bibirnya yang kering digigitinya beberapa kali. Sekilas tampak beberapa butir keringat menetes di kenignnya. Tiupan angin menyapa rambutnya, yang tidak lagi serapi sisiran-setelah-mandinya. Mata yang memandang jauh itu berkedip beberapa kali, mungkin agar tidak terlampau kering tebakku. Ah sejujurnya semuanya hanyalah tebakanku. Satu hal yang pasti hanyalah sebuah wajah yang sedari tadi berpaling dariku. Kecemasannya mengalahkan kecemasanku.

Kami pernah jauh lebih dekat dari ini. Kami adalah api dengan tungkunya. Setan dengan nerakanya. Tuhan dengan hamba-Nya. Kepolosan dengan berhala-berhalanya. Kami yang membuat seluruh spesies malaikat sepakat bahwa sangkakala harus segera ditiupkan. Kami yang membuat kucing-kucing liar memberanikan diri 'tuk bicara berbahasa manusia. Kami adalah hulu bagi hilir masing-masing. Kami adalah tiket untuk pesawat masing-masing.

Tiba-tiba ada tangan yang meluncur sambil malu-malu. Tangan yang tergenggam pun ikut membeku. Aku mengerti mengapa ia terus menatapi dinding rumahku. Ada alasannya mengapa kami hanya bisa menanti. Ada alasan mengapa sedari tadi kami hanya duduk di halaman belakang. Ada alasan mengapa mata kami sama-sama panas menahan bendungan air mata. Karena hanya ada satu perasaan yang bisa menjelaskan semua pertanyaan ini:

Kami sama-sama takut....





















....akan cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog