Air 1.3: dan Tarian Hujan (END)

[Baca dulu Air 1.2]

Bidadari sudah menjadi penyanyi dangdut terkenal sekarang.

Aku baru menyadarinya ketika namanya terpampang di televisi karaoke. Kamu pun mengambil mikrofon dan mulai bernyanyi. Seperti biasa, Kamu membiarkan sisi kekanakan mengendalikannya. Kamu bernyanyi sambil berputar-putar. Aku menikmati melihat rambut pendeknya terkibas-kibas. Tanpa sadar kakinya sudah terlilit kabel. Kami bertiga pun tertawa terbahak-bahak.

Bertiga?

Ya, bukan hanya Kamu yang menemaniku menyanyi hari ini. Kulirik Dia sedang asik mengikuti irama lagu di ruangan tersebut. Ia tidak tersenyum, tetapi tampak menikmati. Terkesan misterius sekali. Sayangnya gemerincing tamborin yang terus memukuli pinggulnya memancingku untuk mendekat. Aku pun berjoget seakan lupa dunia. Aku berdendang, teriak dan tertawa terbahak-bahak. Aku menikmati semuanya! Aku menikmati tangan kurusnya yang merangkul bahuku, membuatku tidak bisa berhenti menari. Kuraih sebotol alkohol dan kuteguk sekali lagi untuk menambah kenikmatan senja ini.

Lagu pun berhenti. Aku menatap Dia dan tertawa kegirangan. Baru kusadari ternyata dia cantik sekali. Rambutnya pendek, sama seperti Kamu. Senyumnya lebar dan polos, sama seperti Kamu. Membuatku tergila-gila, sama seperti Kamu. Aromanya wangi, sama seperti Kamu. Hidungnya mancung, sama seperti Kamu. Lidahnya basah, sama seperti......

Ah..... Lagunya berhenti!

Ternyata sedari tadi Kamu sedang memperhatikan kami. Aku tak sadar ada air mata menetes sampai Kamu sesenggukan dan berlari meninggalkan ruangan. Ia menjatuhkan mikrofon ke lantai sampai mengeluarkan suara denging yang memekakkan. Alkohol membuatku terhuyung mengejar Kamu sampai ke luar.

Ternyata di luar hujan.....

Kamu berdiri tepat di bawah lampu jalan. Sendirian. Kukira hari masih senja, ternyata jalannya sudah sangat sepi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menepuk pundaknya, tetapi ia langsung mengelak. Aku ingin sekali berucap maaf ataupun mengucapkan kata-kata puitis supaya ia tenang. Sayang kisah ini tidak diciptakan untukku punya dialog dengan Kamu.

Tiba-tiba dua buah tangan kurus memelukku dari belakang. Sebuah bisikan lalu membelai telinga kananku. "Lakukan hal ini padanya," katanya. Seiring aku memahami apa maksudnya, perlahan dekapan itu pun terlepas. Aku menoleh dan melihat Dia sedang berdiri menatapku. Tanpa senyum, dengan sorotan penuh makna. Baru kusadari berhari-hari aku hidup di samping makhluk sesempurna ini. Dia...... Seindah ini. Dia....... atau Kamu..... Kamu atau Dia..... Kamu...... Dia..... Kamu...... Dia..............
Aku menatap sesosok wanita dewasa di hadapanku. Berenang kami ke dasar laut. Mencari mutiara yang paling indah di dasar laut yang paling dalam. Di atas langit tidak pernah cerah. Hujan. Saaaaaaaaaaangat deras! Aku tahu, tetapi aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakan apa-apa di bawah sini. Oh, selain mabuk tentunya.....

Dan kini aku mati tenggelam tanpa menemukan apa-apa. Mungkin.
Hmm..... Aku sendiri pun tak yakin.


SERANGKAIAN KISAH 'AIR 1' SELESAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog