Bukan Tugas Kami

BUKAN TUGAS KAMI
oleh Andika Hilman
(based on true events)

‘Semua orang pasti akan mati, bukan?

Entah karena sudah tua, karena sakit ataupun karena kecelakaan yang tiba-tiba, kita semua nantinya akan mati.

Sebagai mahasiswa kedokteran aku mempelajari beberapa penyakit yang memang tidak bisa disembuhkan. Aku pun berpikir, mengapa aku masih mempelajari penyakit-penyakit ini? Mengapa seorang dokter masih harus menangani pasien-pasien ini? Mengapa orang-orang mau mengeluarkan biaya yang besar untuk merawat pasien-pasien ini?

Mengapa merawat mereka yang mau mati menjadi tugas kami???’

Aku membaca kembali salah satu catatanku dulu. Aku tersenyum sendiri mengingat masa-masa sulit itu. Sadar telah lama berdiri di sini, aku pun menaruh setangkai bunga lily yang kubeli tadi, kumasukan notesku ke saku, lalu meninggalkan pemakaman tersebut. Di perjalanan menuju pulang, sambil menyetir kuingat pertama kali aku bertemu dengan almarhum……

Siang itu aku menyetir menuju ke rumah lamanya. Seorang teman menawarkanku untuk memberikan tumpangan kepada seorang penderita kanker ganas bernama Raja, sebagai program sosial yang dilaksanakannya. Aku pun setuju. Di perjalanan aku membayangkan bagaimana sosok Pak Raja ini. Tidak banyak informasi tentangnya yang kutahu, selain seorang dokter telah memvonisnya akan mati kurang dari lima bulan…..

Aku sampai di rumah yang ia mau jual. Pak Raja ternyata seorang pria ramah yang sudah berkepala empat. Rambutnya yang sudah sedikit beruban menghiasi wajah lebarnya yang suka tersenyum. Ia memiliki seekor kucing domestik berwarna coklat-putih bernama Ai. Sambil memangku kucingnya ia duduk di sampingku dan aku pun mengantarkannya ke rumahku.

Selama perjalanan pulang ia bercerita bahwa ayah-ibunya sudah meninggal dan ia merupakan anak tunggal. Ia pun belum menikah dan baru-baru ini sudah tidak lanjut bekerja. Satu hal yang kutahu dari obrolan kita hari itu ialah Ai bukan hanya seekor kucing peliharaan baginya, tetapi juga satu-satunya alasannya untuk hidup.

Lamunanku terhenti ketika aku harus berbelok, sebelum akhirnya aku melihat beberapa tetangga yang tidak bisa ikut melayat hari itu. Singkatnya kami pun bercengkrama dan bernostalgia sebentar di rumahku. Beberapa bapak-bapak mengatakan bahwa anak mereka bahkan menangis karena telah kehilangan Pak Raja yang memang sering menemani mereka bermain di malam hari.

Pak RT mengingatkanku soal sepaket bunga hasil urunan para tetangga untuk ditaruh di makam Pak Raja.

Aku pun mengangguk. “Iya, sudah kok Pak. Oh iya saya minta ijin tadi saya ambil satu tangkai, ya Bapak Ibu sekalian. Buat makam Ai, kucingnya Pak Raja.” Mereka pun secara bersamaan mengiyakan.

“Tapi, Pak Dok, setahu saya almarhum kan sudah divonis 5 bulan mati. Kok beliau masih bisa bertahan sampai 10 tahun ya, Dok? Apa dokter yang memeriksa itu salah?”tanya seorang Bapak.

Aku langsung teringat catatanku saat mahasiswa dulu. “Bukan tugas dokter untuk menyembuhkan pasien, Pak. Tugas kami yang terhadap orang seperti Pak Raja adalah mengurangi penderitaannya. Bukan kami yang mengendalikan kapan ia akan mati, atau hidup seperti apa. Pak Raja pun punya andil terhadap hidupnya. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak kita semua dan orang-orang di sekitarnya pun punya peran terhadap hidup almarhum…..”

“Mungkin bahkan kucingnya juga ya?”celetuk seorang ibu,”Kan almarhum meninggalnya sebulan setelah Ai mati.....”

“Almarhum jadi dimakamkan di samping Ai?”

“Iya, Bu,”jawabku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog