Anonymous

ANONYMOUS
Sutradara: Rolland Emerich
Pemain: Rhys Ifans, Rafe Spall, Sebastian Armesto
Tahun Rilis: 2011
Durasi: 2 jam 10 menit

Sebenarnya aku nggak suka film politik, apalagi politik sejarah. Tapi bodo amat dengan seleraku, mari kita langsung review aja filmnya!
This post may contain spoiler.

Romeo and Juliet, Hamlet, Macbeth dan berbagai karya sastra lainnya selama ini kita kenal sebagai karya William Shakespeare. Bagaimana jika semua itu tidak benar?

Premis di atas yang membuatku akhirnya menonton film ini. Film 'Anonymous' sendiri ternyata bercerita tentang konspirasi beberapa orang untuk mengambil alih tahta ratu Elizabeth I. Namun selain intrik politik, kita disuguhkan oleh kesenian teater rakyat kota London. Antusiasme penonton terhadap sebuah pertunjukan drama ternyata cukup tinggi pada masa itu. Mungkin karena tidak banyak hiburan bernilai artistik di sana. Ada banyak respon terhadap sebuah pertunjukan, mulai dari sangat emosional, terinspirasi, sampai yang kritis meski minoritas. Hal ini sangat menggambarkan penonton film jaman sekarang yang sangat mudah disetir pikirannya oleh film. Munculnya selera mainstream menjadi contoh paling mudah mengenai hal tersebut. Pada 'Anonymous', bahkan ratu Elizabeth I sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal melankolis. Hal itu bukan saja tampak ketika ia sampai membuka kancing baju saat menonton karena larut dalam emosi, tetapi juga oleh sajak-sajak serta buku yang mempengaruhi perspektifnya terhadap orang-orang di sekitar. Film ini pun menunjukkan kericuhan massa bisa timbul hanya karena sebuah pertunjukan drama, yang lalu mengharuskan kerajaan untuk menyiapkan pasukan untuk menahan mereka. 'Anonymous' seakan berkata bahwa karya seni punya kekuatan yang sangat besar, bahkan terhadap politik sekalipun.

Kekuatan besar tersebut tidak hanya dirasakan oleh penonton drama, tetapi juga para penulisnya. Dalam film ini kita akan bertemu dengan Ben Johnson sang penulis naskah idealis, yang meski tidak terlalu gamblang diceritakan, akhirnya ia kewalahan karena naskahnya tidak laku. Ada juga Edward the Earl of Oxford, seorang pemimpin yang kehilangan kontrol diri dan martabatnya gegara kecintaannya terhadap sastra. Hal tersebut, sejujurnya, sangat related dengan apa yang kurasakan. Kerendahan apresiasi dan suramnya masa depan seniman membuatku harus berada pada jalur yang tidak kuinginkan: jalur aman. Sayangnya hal tersebut tidak memberiku kesempatan cukup luas untuk berkarya. Kegelisahan tersebutlah yang menjadi dasar konflik film ini, selain tentunya perang strategi seru antara kedua pihak dalam memperebutkan kekuasaan.
Aku sempat bingung memahami plot serta mengenali karakter-karakternya yang tidak khas. Pasalnya penggambaran flash back yang cukup unik pada film ini justru membuat penonton sulit membedakan rentang waktu yang berbeda. Tidak ada perbedaan warna yang kontras ataupun markers lainnya adalah penyebab kebingungan ini. Selain itu istilah kerajaan yang tidak lazim (at least for me) membuatku kebingungan siapa-menjadi-apa sepanjang film. Belum lagi penuturan konflik dengan bahasa yang kaku pun mempersulit penonton untuk mengikuti alur film ini. Namun jika sudah bisa memahami, film tentang konspirasi William Shakespeare yang nyeleneh ini pun bisa menjadi pengalaman menonton yang cukup menyenangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog