Aach... Aku Jatuh Cinta | Review Film
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Chicco Jerico, Pevita Pearce
Sinopsis:
Kisah percintaan dua manusia, Yulia (Pevita Pearce) dengan Rumi (Chicco Jerikho) yang tumbuh sejak kecil saat mereka bertetangga. Hubungan yang unik, puitis, penuh tragedi dan komedi mewarnai perjalanan mereka melewati masa-masa perubahan zaman. Perubahan gaya hidup dan hadirnya produk-produk konsumsi ikut menjadi saksi cinta Rumi dan Yulia.
Rumi sejak kecil hingga dewasa selalu menjadi sumber kekacauan masalah pelik keduanya. Namun kekacauan yang ditimbulkan Rumi justru menjadi penanda yang tak terlupakan bagi Yulia. Setiap peristiwa yang dialami Yulia pun selalu membekas dan menghadirkan kerinduan akan kehadiran Rumi. Rumi tak ada, Yulia bisa merana.
Era tahun 1970an, 80an dan 90an banyak membawa perubahan gaya hidup dan ekonomi. Melalui buku hariannya Yulia mencatat kenangan manis-pahit, suka-duka, indah-merana, semua yang dirasakannya bersama Rumi. Hubungan cinta keduanya juga menjadi saksi begitu banyak peristiwa tak terduga.
Perpisahan justru menjadi pencarian masing-masing karena keterikatan kenangan masa lalu. (source: cinema 21)
Review:
Perpisahan justru menjadi pencarian masing-masing karena keterikatan kenangan masa lalu. (source: cinema 21)
Februari 2016 ini dihiasi oleh banyak film lokal yang sayang dilewatkan, salah satunya adalah karya sineas cerdas Indonesia yang satu ini. Aku dapet tiket gratisan sehingga harus nobar dengan bioskop yang ramai dan penuh sesak, yang pastinya mempunyai kesan "berbeda" dibandingkan dengan menonton sendiri. Tapi bodo amatlah dengan penderitaanku, mari kita langsung aja review filmnya!
Film puitis. Itu adalah kesan pertama yang akan tertangkap dari film ini. Tidak hanya dari dialognya yang tidak lazim digunakan sehari-hari, latar dan seluruh propertinya yang manis, permainan kameranya yang cenderung dari satu arah saja, pergantian waktu yang frontal, sampai lagu-lagu pengiringnya yang manis membuat penonton seolah disuguhkan sebuah drama teater dari balik layar 2 dimensi. Namun di satu sisi, film ini mampu mengajak penontonnya masuk ke kisah polos Yulia-Rumi di dunianya yang klasik. Bersama-sama kita mendengarkan curhatan seorang gadis feminin dalam buku harian dan ingata-ingatan masa lalunya.
Gaya berceritanya yang linear, rapi dan tidak terburu-buru membuat penonton dapat memahami suka-duka masing-masing karakter (yang dieksekusi oleh para pemainnya yang sangat berbakat), meski tidak terlalu memorable. Hal ini menjadi penting karena kita harus cukup cinta dengan mereka sehingga mau menyimak sampai habis, alih-alih menjadikan film ini sebagai dongeng indah pengantar tidur (yang sangat berpotensi seperti ini). Bumbu-bumbu komedi, drama satir, momen-momen romantis lugu dengan kekliseannya, dan selipan-selipan konflik tanah air era 70-an sampai 90-an membuat Garin cukup sukses melewati hambatan tersebut. Namun jangan salahkan penonton jika mereka tertawa ngakak pada momen paling sedih dalam film ini karena dramatisasinya yang kian besar menjadi senjata makan tuan, terutama bagi penonton yang tidak terbiasa dengan cara bercerita Garin yang terlampau puitis, sepertinya judul versi Inggrisnya sendiri: Chaotic Love Poems.
Akhir kata saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Garin Nugroho karena telah menyuguhkan variasi film yang jarang bertengger di Indonesia, yang tidak kalah kalau dibandingkan Supernova (2014) dan Tenggelamnya Kapan Van Der Wicjk (2013) yang sama-sama "kaku" dialognya, pun menghasilkan rasa yang benar-benar berbeda. Selamat kepada Pevita, Chicco dan para pemain lainnya yang pastinya mendapat pengalaman menyenangkan. Hal itu tercermin dalam pendalaman akting mereka yang dalam dan sangat menarik untuk ditonton.
Mungkin kisah Rumi-Yulia berakhir setelah lampu bioskop dinyalakan, tetapi puisi-puisinya mungkin akan menjadi suatu pengalaman tersendiri yang susah dilupakan. Setelah menonton, ingin rasanya kuberkata,"Aach... Aku TELAH jatuh cinta!"
Film puitis. Itu adalah kesan pertama yang akan tertangkap dari film ini. Tidak hanya dari dialognya yang tidak lazim digunakan sehari-hari, latar dan seluruh propertinya yang manis, permainan kameranya yang cenderung dari satu arah saja, pergantian waktu yang frontal, sampai lagu-lagu pengiringnya yang manis membuat penonton seolah disuguhkan sebuah drama teater dari balik layar 2 dimensi. Namun di satu sisi, film ini mampu mengajak penontonnya masuk ke kisah polos Yulia-Rumi di dunianya yang klasik. Bersama-sama kita mendengarkan curhatan seorang gadis feminin dalam buku harian dan ingata-ingatan masa lalunya.
Gaya berceritanya yang linear, rapi dan tidak terburu-buru membuat penonton dapat memahami suka-duka masing-masing karakter (yang dieksekusi oleh para pemainnya yang sangat berbakat), meski tidak terlalu memorable. Hal ini menjadi penting karena kita harus cukup cinta dengan mereka sehingga mau menyimak sampai habis, alih-alih menjadikan film ini sebagai dongeng indah pengantar tidur (yang sangat berpotensi seperti ini). Bumbu-bumbu komedi, drama satir, momen-momen romantis lugu dengan kekliseannya, dan selipan-selipan konflik tanah air era 70-an sampai 90-an membuat Garin cukup sukses melewati hambatan tersebut. Namun jangan salahkan penonton jika mereka tertawa ngakak pada momen paling sedih dalam film ini karena dramatisasinya yang kian besar menjadi senjata makan tuan, terutama bagi penonton yang tidak terbiasa dengan cara bercerita Garin yang terlampau puitis, sepertinya judul versi Inggrisnya sendiri: Chaotic Love Poems.
Mungkin kisah Rumi-Yulia berakhir setelah lampu bioskop dinyalakan, tetapi puisi-puisinya mungkin akan menjadi suatu pengalaman tersendiri yang susah dilupakan. Setelah menonton, ingin rasanya kuberkata,"Aach... Aku TELAH jatuh cinta!"
RATING: 7.4
Komentar
Posting Komentar