6 Movies In A Row! [Comment Session]

Langsung aja, kali ini kita akan membahas 6 film urut dari yang pertama kutonton, yaitu
1. Hunger Games: Mockingjay part 2
2. The Good Dinosaur
3. Le Petit Prince (The Little Prince)
4. In The Heart of The Sea
5. Kokuhaku (Confession)
6. The Time Traveler's Wife.

Go check this out!
Tidak perlu diragukan lagi bahwa karakter kesayangan kita, Katniss, tidak mampu membuat kita beralih menjadi benci. Plot Hunger Games pun tetap konsisten menarik dari film pertamanya sampai di titik ini. Sayangnya untuk sebuah film penutup, Mockingjay part 2 tidak mampu memberikan pengalaman yang benar-benar berkesan. Tidak cukupnya pembawaan emosi penonton mungkin adalah faktor utama mengapa kesan kekecawaan itu muncul. Meski sudah dibagi menjadi 2 bagian, Mockingjay masih memasukkan terlalu banyak konflik dalam filmnya, sehingga penonton belum sempat larut emosinya ketika Katniss mencapai happy-sad ending perjalanannya.

Tidak banyak memang yang bisa dikatakan setelah menonton Hunger Games: Mockingjay part 2 ini. Namun sebagai penggemar yang telah berpetualang jauh bersam Katniss, film ini bolehlah mendapatkan applause spesialnya sebagai tanda ucapan perpisahan. Rasanya tidak akan terlalu lama juga kita bisa move on dari variety show yang terkemas dalam sebuah film ini. Toh kita masih bisa menikmati penampilan JLaw dkk di film-film mereka berikutnya. Semoga...
Bahkan sampai saat ini, The Good Dinosaur masih terasa seperti gabungan Pixar's Finding Nemo dan Walt Disney's The Lion King, tetapi yang diperuntukkan kepada anak-anak generasi 2015. Tidak banyak formula baru yang bisa dinikmati di film ini, tidak seperti film-film Pixar lainnya yang selalu punya ide mencengangkan. Sebut saja keunikan ide cerita Toy Story, Monster Inc., Wall-E, sampai Inside Out yang seakan mempunyai dunianya sendiri. Meski sudah membelokkan berbagai logika yang ada, The Good Dinosaur belum punya nilai orisinalitas yang kuat. Tidak hanya konsep tentunya, jalan ceritanya yang sederhana pun tidak memberikan ketegangan yang baru. Meski penonton mendapat kesempatan untuk "menangis" pun tidak membuat film ini benar-benar menyenangkan untuk dikenang. Bahkan mungkin Sanjay's Super Team, sebuah animasi pendek yang disuguhkan sebagai opening film ini, akan terasa lebih seru dari film utamanya sendiri.
The Little Prince punya cara sendiri untuk mengajak anak-anak untuk berimajinasi. Sangat menyenangkan menonton film animasi Perancis setelah bosan bertahun-tahun menikmati animasi Hollywood maupun anime Jepang. Ada satir yang kuat tersampaikan oleh penonton, yang sangat mungkin mengubah pola pikir generasi muda yang menontonnya. Tampaknya sang sineas bersama dongeng pangeran kecil ini benar-benar punya sudut pandang sendiri tentang makna kedewasaan yang sesungguhnya. Pesan yang kuat tersebut didukung oleh kemasan yang benar-benar menyenangkan untuk disimak.

Di film ini kita akan diposisikan sebagai seorang anak kecil yang sudah disetir oleh ibunya dalam memaknai kehidupan dan dunia yang penuh tanggung jawab. Lalu dengan pertemuannya dengan seorang kakek tua gila yang mengaku sebagai pilot dalam dongeng Little Prince, anak perempuan itu pun mengalami perubahan pola pikir dan sikapnya terhadap masa depan. Hal itu belum termasuk gejolak hati yang dialami oleh SETIAP karakter utama dalam film in, yang semakin membuat penonton hanyut dalam emosi yang ada. Semua dikemas dengan rapi, meski tetap berkesan sangat liar.
Film tidak seharusnya sekedar menjadi penyedia kisah, tetapi juga 'menceritakan' kisah yang disuguhkan. Namun hal tersebut tidak terlalu tampak pada In The Heart of The Sea. Pembongkaran misteri di balik kisah terkenal Moby Dick tidak membuat film ini lalu bisa sama hebatnya. Gaya penceritaannya serba nanggung, terutama dalam mengajak penonton turut simpati terhadap para korban sang paus raksasa penunggu katulistiwa. Kecuali jika konsepnya adalah heroik, maka benarlah apa yang berrhasil ditangkap mayoritas penikmat film ini. Ketangguhan sang pemburu paus ganteng yang diperankan oleh Chris Hemsworth, maupun pasangan Herman Melville dan Thomas tua yang bersama-sama mengalahkan rasa takut mereka, merupakan poin paling menonjol dalam film ini. Beberapa konflik lainnya pun mengarah ke arah pesan tersebut. Bagaimanapun, untuk mencapai keberanian tertinggi kita harus diajak menuju pengalaman tergelap yang, sayangnya, emosinya kurang begitu digali dalam film ini.
Berawal dari keputusasaannya sebagai seorang guru yang sedang terjebak dalam kelas dengan murid-murid yang tidak memperdulikannya, membuat Moriguchi malah curcol (curahan hati colongan) tentang kematian anaknya. Kisah singkat itu pun membuat kelas menjadi heboh selama berhari-hari dan seakan dihantui sebuah misteri yang tidak kunjung selesai. Adu kecerdasan pun terjadi antara Moriguchi dengan si pembunuh anaknya yang tidak lain merupakan muridnya sendiri. Hak perlindungan anak di Jepang yang melindungi kriminal di bawah umur membuat Moriguchi harus melakukan cara lain untuk memberikan "pelajaran" terhadap muridnya tersebut. Mizuki, salah satu murid di kelas tersebut, tampak lebih peka daripada teman-temannya dan mencoba memaknai apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan kesadisan, kejeniusan, konflik penuh dilema, serta keunikan pengemasannya membuat Kokuhaku pantas saja jika mendapat berbagai penghargaan di Jepang, Hongkong sampai Italy. Kokuhaku merupakan sebuah film misteri yang sangat menarik untuk disimak, tetapi sangat mind-blowing untuk dikenang.
Apa jadinya jika tema penjelajahan waktu yang umumnya dikemas dalam film science fiction yang lebih mengutamakan ketegangannya, kini dibalut dalam sebuah film bertopikkan cinta? The Time Traveller's Wife-lah jawabannya! Banyak dilema hati yang disuguhkan yang lalu mempengaruhi hubungan mesra si ganteng Henry dan si childish Clare. Konflik-konflik tersebut membuat mereka belajar untuk memahami bagaimana seharusnya hubungan yang dewasa, sampai harus mengambil keputusan hidup yang sangat berat. Dengan gaya penceritaannya yang seru meski tetap hati-hati, The Time Traveller's Wife dapat menjadi salah satu film bergenre drama romantis favorit kita semua.


RATING: 8.0
RATING: 6.0
RATING: 9.7
RATING: 4.9
RATING: 9.6
RATING: 8.5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog