THE WALK dan GOOSEBUMPS [Comment Session]
Hai, lama tidak berjumpa! Kali ini aku mau membahas dua film, sekaligus bercerita tentang pengalaman tidak menyenangkan selama menonton dua film tersebut. Namun sekarang mari kita mulai dengan membahas film GOOSEBUMPS.
Berawal dari kerinduan akan bacaan semasa kecil yang membuat tidak bisa tidur, aku pun berangkat ke Platinum Cineplex Sidarjo. Perjalanan satu jam disambut oleh studio yang tidak bisa digunakan sehingga aku harus menunggu TIGA JAM untuk menonton 'Goosebumps'. Tidak apalah, setidaknya aku dapat tempat tongkrongan yang nyaman untuk mengerjakan tugas di laptop.
Tiga jam kemudian aku bisa masuk ditemani popcorn karamel yang jadi satu paket dengan filmnya (harganya 40 ribu rupiah), lumayanlah... Studio di cineplex ini ternyata cukup "unik". Dinding dan karpet lantainya tidak berwarna gelap seperti di XXI, tetapi berpola kotak-kotak coklat. Sehingga ketika film diputar akan tampak warna selain warna dari film tersebut. Sejujurnya agak mengganggu. Selain itu, lampu-lampu di lantai yang tugasnya sebagai penunjuk jalan ketika lampu utama dimatikan malah membuat bioskop remang-remang-tidak-menyenangkan. Sialnya, aku dapat kursi di baris keempat dari depan dalam studio yang tidak besar. Jadi saat itu pilihannya cuma dua, duduk tegak sambil mendongak ke atas atau duduk dalam posisi semi-berbaring. Aku pilih yang kedua :p
Tidak hanya itu, bioskop hari itu agak ramai. Tidak masalah sebenarnya, kalau tidak ada anak kecil menangis dan orang yang ngobrol dalam bioskop. Hal yang paling canggung adalah orang yang duduk tepat di belakangku terlalu sering tertawa cekikikan, bahkan ketika suasananya seharusnya tegang. "Yah mungkin karena ia terbawa suasana komedi film ini,"pikirku mencoba tidak mengindahkan.
Dengan segala distraksi yang ada, aku pun mencoba menikmati film 'Goosebumps' ini. Film dibuka dengan establish pemandangan sebuah kota pinggiran kecil yang nantinya akan menjadi lokasi teror para monster. Menarik, karena di bukunya juga seringkali berlatar belakang lokasi serupa. Filmnya sangat klasik dan ndeso (tapi versi barat ya) yang membuat kita seakan kembali memagang lembaran-lembaran kertas usang buku 'Goosebumps'. Dari segala sisi, menurutku, film ini mampu mengangkat bukunya dengan sangat-sangat baik.
Sesungguhnya film ini bercerita tentang Zach yang tidak sengaja membuka manuskrip asli buku-buku 'Goosebumps' milik R.L. Stine, yang tanpa ia ketahui, mampu membuat monster-monster di dalamnya keluar ke dunia nyata. R.L. Stine ternyata mempunyai kutukan bisa menciptakan karakter yang ia tulis menjadi nyata. Slappy the Dummy, salah satu karakter buku tersebut yang geram karena bertahun-tahun terjebak dalam lemari pun mengeluarkan semua monster dan membakar semua manuskrip yang ada sehingga monster tersebut tidak bisa kembali. Zach, love-interest-nya Hannah, teman barunya Champ dan tuan R.L. Stine sendiri harus mengalami malam teroro yang paling tidak bisa mereka lupakan seumur hidup. Itupun kalau mereka semua bisa hidup keesokan harinya. Khihihi... :p
Ceritanya sangat mind-blowing kan? Sayangnya ketakutan tersebut tidak diiringin oleh penyampaian yang seharusnya juga seram. 'Goosebumps' menjadi film horor dengan penuh komedi di hampir setiap adegannya. Bagaimanapun komedi sifatnya relatif bagi semua orang, yang mana sangat beresiko tentunya untuk menjadi tontonan yang bagus. Bukan masalah yang serius kok. Hanya saja keinginanku untuk ketakutan tidak terlalu terpenuhi saat menonton film ini. Atau... Mungkin karena aku sudah tidak bisa ditakut-takutin lagi? Entahlah.....
Untuk karakter utamanya (Zach dan Hannah) memang agak tampan dan cantik, tetapi menurutku mereka pun tidak membuat penonton ikut merasakan ketakutan akan kematian yang sangat mungkin mereka alami. Namun akting mereka tidak buruk kok, justru malah menarik dan cukup ideal untuk cerita ini. Untungnya ada Jack Black yang sangat mampu mendalami karakternya sebagai penulis freak, anti-sosial, dan emosional. Begitu juga dengan karakter komedik 'Champ' yang mampu diperankan dengan baik oleh Ryan Lee. Selain itu, karakter antagonis Slappy the Dummy pun mampu meningkatkan ketegangan yang ada dengan sangat baik. Perawakannya sebagai boneka ventriloquist yang bad-ass bisa jadi akan karakter penjahat favorit berikutnya.
Secara umum, film 'Goosebumps' menjadi tontonan yang sangat menarik, terutama bagiku yang ingin bernostalgia dengan ketakutan masa kecilku. Meskipun tidak terlalu baik dalam merakit komedi dan horor dalam satu film, tetapi untuk sebuah adaptasi, film ini sangat mendekati sempurna.
Film ini cocok untuk anak-anak yang juga ingin menikmati film bergenre horor karena tidak terlalu sadis, tetapi cukup untuk membuat mimpi buruk >:)
Sekarang mari kita lanjut dengan THE WALK.
Film 'The Walk' dibuka dengan sangat manis. Philippe, seorang wire-walker berdomisili di Paris tampak menikmati hidupnya yang tidak lumrah. Dari awal aku bisa mengikuti suka-duka awal perjalanannya sambil pelan-pelan mengenali dan mencintai karakter Philippe itu sendiri. Sayangnya di 2/3 film tidak ada sesuatu yang benar-benar membuat simpatis. Semua terasa datar, meski penuh konflik. Untungnya sisa durasi film ini mampu menunjukkan konflik yang semakin intense sampai resolusi yang cukup bisa menggetarkan hati.
Hal yang agak mengganggu adalah konsep penceritaannya yang menggunakan narasi dari awal sampai akhir. Kita seakan mendengar celotehan seorang pemain sirkus gila dengan pengalaman gila yang membawanya mampu menyebrangi dua gedung tertinggi di dunia hanya dengan seutas tali. Jadinya ketika aku mulai masuk ke dalam filmnya, Philippe datang menginterupsi untuk kembali menarasikan apa yang terjadi. Kayak udah mau terjun bebas, tetapi tidak jadi. Meskipun begitu, harus diakui bahwa Joseph Gordon-Levitt a.k.a. JGL benar-benar mampu menjadi orang lain. Logat Perancisnya tampak begitu kental, padahal sebenarnya ia pria kelahiran Amerika Serikat.
Saat menonton 'The Walk' ini sebenarnya aku agak terganggu dengan, lagi-lagi, suara anak kecil. Kali ini tidak dengan tangisan, tetapi dengan celotehannya dan tingkahnya yang berjalan ke mana-mana. Tidak nyaman saja rasanya, ketika serius menonton tiba-tiba pandangan teralihkan oleh sesuatu yang bergerak ke sana-kemari di hadapan kita. Namun tidak apa-apa karena waktu itu film ini cuma jadi film pembuka bagiku sebelum menonton 'The Wedding and Bebek Betutu'.
Kembali lagi, film biografi 'The Walk' ini cukup layak untuk menjadi tontonan di bioskop. Apalagi bagiku yang sudah menunggu-nunggu penampilan aktor favoritku, JGL, yang ternyata bermain dengan sangaaaaaaaaaaaaat keren. Film ini cocok bagi orang yang sedang meraih mimpinya, terutama bagi para seniman yang kadang hidupnya tidak bisa dimengerti oleh masyarakat awam. Film ini pun cocok untuk yang rindu akan film drama dengan karakter tokoh utama yang kuat serta pemandangan-pemandangan menarik dari art-street Perancis sampai puncak gedung World Trade Center.
Saksikan mimpi paling mustahil sedunia hadir di bioskop-bioskop kesayangan anda! :)
Berawal dari kerinduan akan bacaan semasa kecil yang membuat tidak bisa tidur, aku pun berangkat ke Platinum Cineplex Sidarjo. Perjalanan satu jam disambut oleh studio yang tidak bisa digunakan sehingga aku harus menunggu TIGA JAM untuk menonton 'Goosebumps'. Tidak apalah, setidaknya aku dapat tempat tongkrongan yang nyaman untuk mengerjakan tugas di laptop.
Tiga jam kemudian aku bisa masuk ditemani popcorn karamel yang jadi satu paket dengan filmnya (harganya 40 ribu rupiah), lumayanlah... Studio di cineplex ini ternyata cukup "unik". Dinding dan karpet lantainya tidak berwarna gelap seperti di XXI, tetapi berpola kotak-kotak coklat. Sehingga ketika film diputar akan tampak warna selain warna dari film tersebut. Sejujurnya agak mengganggu. Selain itu, lampu-lampu di lantai yang tugasnya sebagai penunjuk jalan ketika lampu utama dimatikan malah membuat bioskop remang-remang-tidak-menyenangkan. Sialnya, aku dapat kursi di baris keempat dari depan dalam studio yang tidak besar. Jadi saat itu pilihannya cuma dua, duduk tegak sambil mendongak ke atas atau duduk dalam posisi semi-berbaring. Aku pilih yang kedua :p
Tidak hanya itu, bioskop hari itu agak ramai. Tidak masalah sebenarnya, kalau tidak ada anak kecil menangis dan orang yang ngobrol dalam bioskop. Hal yang paling canggung adalah orang yang duduk tepat di belakangku terlalu sering tertawa cekikikan, bahkan ketika suasananya seharusnya tegang. "Yah mungkin karena ia terbawa suasana komedi film ini,"pikirku mencoba tidak mengindahkan.
Dengan segala distraksi yang ada, aku pun mencoba menikmati film 'Goosebumps' ini. Film dibuka dengan establish pemandangan sebuah kota pinggiran kecil yang nantinya akan menjadi lokasi teror para monster. Menarik, karena di bukunya juga seringkali berlatar belakang lokasi serupa. Filmnya sangat klasik dan ndeso (tapi versi barat ya) yang membuat kita seakan kembali memagang lembaran-lembaran kertas usang buku 'Goosebumps'. Dari segala sisi, menurutku, film ini mampu mengangkat bukunya dengan sangat-sangat baik.
Ceritanya sangat mind-blowing kan? Sayangnya ketakutan tersebut tidak diiringin oleh penyampaian yang seharusnya juga seram. 'Goosebumps' menjadi film horor dengan penuh komedi di hampir setiap adegannya. Bagaimanapun komedi sifatnya relatif bagi semua orang, yang mana sangat beresiko tentunya untuk menjadi tontonan yang bagus. Bukan masalah yang serius kok. Hanya saja keinginanku untuk ketakutan tidak terlalu terpenuhi saat menonton film ini. Atau... Mungkin karena aku sudah tidak bisa ditakut-takutin lagi? Entahlah.....
Untuk karakter utamanya (Zach dan Hannah) memang agak tampan dan cantik, tetapi menurutku mereka pun tidak membuat penonton ikut merasakan ketakutan akan kematian yang sangat mungkin mereka alami. Namun akting mereka tidak buruk kok, justru malah menarik dan cukup ideal untuk cerita ini. Untungnya ada Jack Black yang sangat mampu mendalami karakternya sebagai penulis freak, anti-sosial, dan emosional. Begitu juga dengan karakter komedik 'Champ' yang mampu diperankan dengan baik oleh Ryan Lee. Selain itu, karakter antagonis Slappy the Dummy pun mampu meningkatkan ketegangan yang ada dengan sangat baik. Perawakannya sebagai boneka ventriloquist yang bad-ass bisa jadi akan karakter penjahat favorit berikutnya.
Secara umum, film 'Goosebumps' menjadi tontonan yang sangat menarik, terutama bagiku yang ingin bernostalgia dengan ketakutan masa kecilku. Meskipun tidak terlalu baik dalam merakit komedi dan horor dalam satu film, tetapi untuk sebuah adaptasi, film ini sangat mendekati sempurna.
Film ini cocok untuk anak-anak yang juga ingin menikmati film bergenre horor karena tidak terlalu sadis, tetapi cukup untuk membuat mimpi buruk >:)
Sekarang mari kita lanjut dengan THE WALK.
Film 'The Walk' dibuka dengan sangat manis. Philippe, seorang wire-walker berdomisili di Paris tampak menikmati hidupnya yang tidak lumrah. Dari awal aku bisa mengikuti suka-duka awal perjalanannya sambil pelan-pelan mengenali dan mencintai karakter Philippe itu sendiri. Sayangnya di 2/3 film tidak ada sesuatu yang benar-benar membuat simpatis. Semua terasa datar, meski penuh konflik. Untungnya sisa durasi film ini mampu menunjukkan konflik yang semakin intense sampai resolusi yang cukup bisa menggetarkan hati.
Hal yang agak mengganggu adalah konsep penceritaannya yang menggunakan narasi dari awal sampai akhir. Kita seakan mendengar celotehan seorang pemain sirkus gila dengan pengalaman gila yang membawanya mampu menyebrangi dua gedung tertinggi di dunia hanya dengan seutas tali. Jadinya ketika aku mulai masuk ke dalam filmnya, Philippe datang menginterupsi untuk kembali menarasikan apa yang terjadi. Kayak udah mau terjun bebas, tetapi tidak jadi. Meskipun begitu, harus diakui bahwa Joseph Gordon-Levitt a.k.a. JGL benar-benar mampu menjadi orang lain. Logat Perancisnya tampak begitu kental, padahal sebenarnya ia pria kelahiran Amerika Serikat.
Saat menonton 'The Walk' ini sebenarnya aku agak terganggu dengan, lagi-lagi, suara anak kecil. Kali ini tidak dengan tangisan, tetapi dengan celotehannya dan tingkahnya yang berjalan ke mana-mana. Tidak nyaman saja rasanya, ketika serius menonton tiba-tiba pandangan teralihkan oleh sesuatu yang bergerak ke sana-kemari di hadapan kita. Namun tidak apa-apa karena waktu itu film ini cuma jadi film pembuka bagiku sebelum menonton 'The Wedding and Bebek Betutu'.
Kembali lagi, film biografi 'The Walk' ini cukup layak untuk menjadi tontonan di bioskop. Apalagi bagiku yang sudah menunggu-nunggu penampilan aktor favoritku, JGL, yang ternyata bermain dengan sangaaaaaaaaaaaaat keren. Film ini cocok bagi orang yang sedang meraih mimpinya, terutama bagi para seniman yang kadang hidupnya tidak bisa dimengerti oleh masyarakat awam. Film ini pun cocok untuk yang rindu akan film drama dengan karakter tokoh utama yang kuat serta pemandangan-pemandangan menarik dari art-street Perancis sampai puncak gedung World Trade Center.
Saksikan mimpi paling mustahil sedunia hadir di bioskop-bioskop kesayangan anda! :)
RATING: 6.8/10
RATING: 7/10
Komentar
Posting Komentar