SITI | Review Film


Judul: Siti (2014)
Sutradara: Eddie Cahyono
Pemain: Sekar Sari, Bintang Timur, Haydar Saliz

Sinopsis:
Satu hari dalam kehidupan Siti, 24 tahun. Siti, ibu muda, mengurusi ibu mertuanya, Darmi, anaknya, Bagas, dan suaminya, Bagus. Bagus mengalami kecelakaan saat melaut setahun sebelumnya yang mengakibatkan kelumpuhan. Kapal Bagus yang baru dibeli dengan uang pinjaman hilang di laut.
Siti berjuang untuk menghidupi mereka. Di saat keadaan makin terjepit karena lilitan hutang, Siti terpaksa bekerja siang dan malam. Siang hari Siti berjualan peyek jingking di Parangtritis. Malam hari Siti bekerja sambilan sebagai pemandu karaoke. Pekerjaan terakhir ini membuat Bagus tidak mau bicara lagi dengan Siti. Keadaan membuat Siti frustasi. Di tempat karaoke Siti berkenalan dengan seorang polisi bernama Gatot. Gatot menyukai Siti dan ingin menikahinya. Siti bimbang. Tekanan hidup membuat Siti harus memilih untuk kebahagiaan dirinya. (sumber: filmindonesia)

Review: 
Film 'Siti' ini tidak direncanakan tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Kemarin aku nonton di Suberfest (Sepuluh November Festival) yang diadakan oleh ITS, Surabaya. Film berlatar belakang Prangtritis ini hanya menyajikan dua warna selama pertunjukan, yaitu hitam-putih. Namun apakah filmnya juga sekusam itu? Mari kita langsung review aja!

Kita tahu sebuah film memang bagus jika ia menawarkan sesuatu yang tidak terduga, dan 'Siti' memberikan hal tersebut. Mengeksplor kehidupan rakyat menengah ke bawah tentu tidaklah mudah, apalagi jika harus mengambil simpati penonton dengan idealisme sineas yang tampak cukup menonjol di film ini. Namun dengan kisah yang cukup menarik, gaya penceritaan yang unik, serta akting yang profesional mampu menjawab tantangan itu. Belum lagi dibumbui dengan kerja kamera serta teknis-teknis film lainnya yang indah, sehingga membuat 'Siti' menjadi tontonan yang mengenyangkan.

Sebagai penikmat film, aku berharap 'Siti' maupun film-film serupa bisa menyapa para penonton awam Indonesia. Sudah saatnya Indonesia punya tontonan yang berkelas, tetapi mampu menyentuh rakyat kecil. Industri film kita tidak boleh hanya dihargai oleh negara-negara barat, tetapi harus juga bisa diterima oleh tanah air sendiri.

RATING: 7,7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog