Sesat

SESAT
oleh Andika Hilman

Adam menutup buku hariannya. Ia menaruh pulpennya di atas meja. Ia mematikan lampu tidur dan berbaring di tempat tidurnya. Ia menarik selimutnya sampai menutup seluruh tubuhnya, kecuali kepalanya. Ia tersenyum. Adam lalu membalikkan badan ke kanan untuk menatap kekasih tersayangnya. Sayangnya tidak ada siapapun di sampingnya. Senyuman Adam tiba-tiba hilang. Ia kembali menatap langit-langit kamarnya. Ia melihat sticker glow in the dark berbentuk bintang-bintang yang ia tempel tempo hari. Adam lalu bangkit dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia merasa ada yang salah dengan hidupnya. Ia lalu meraih sebotol minuman beralkohol di atas meja dan meminumnya beberapa teguk. Adam kembali melihat ke langit-langit kamarnya yang tampak semakin bersinar.

Adam masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran air. Ia membasuh tangannya lalu berwudhu. Ia merasakan dinginnya air di malam hari yang satu-satu masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Matanya yang merah yang kini kembali menjadi putih. Adam membasuh kakinya dan menutup keran tersebut. Ia keluar dari kamar mandi. Adam mengambil sarung dan menggelar sajadah sholatnya. Adam mengangkat kedua tangannya ke udara.
***
Pada suatu sore Adam duduk di sebuah ayunan. Ia ingat sekali letak ayunan tersebut pada taman yang ia datangi. Ada dua ayunan yang berdampingan di situ dan Adam duduk di ayunan yang berwarna merah. Seorang pria duduk di ayunan sebelahnya, yaitu yang berwarna biru. Setelah berpamitan, pria tersebut lalu meninggalkan Adam pergi sendirian. Adam melambaikan tangan yang dibalas balik oleh orang yang paling ia sayang tersebut. Perlahan ia melihat punggung itu semakin menjauh pergi. Adam tersenyum. Ini hari pertamanya secara resmi berpacaran dengannya. Ini kencan pertamanya dan Adam masih belum percaya bahwa hal ini benar-benar terjadi.

Sejenak ia melihat anak-anak kecil yang berlarian di taman sore itu. Mereka saling bercanda dan tertawa, senang sekali melihatnya. "Kapan ya aku punya anak-anak lucu seperti itu?" tanya Adam dalam hatinya. Ia lalu menghela nafas. Ia melihat pohon-pohon hijau yang rindang dan telah menyejukkan hatinya sore itu. Ia merasakan angin yang sepoi-sepoi seolah mengiyakan apa yang ia rasakan saat itu. Ia lalu melihat awan yang meniup angin-angin tersebut. Putih, tak berbentuk, tetapi tetap indah. Adam tidak yakin, apakah angin atau langit yang biru yang lebih indah sore itu. Yang jelas ia bahagia sekali. Itu adalah detik-detik yang sempurna dalam hidupnya.

Beberapa saat kemudian hapenya berbunyi, tanda sms masuk. Ternyata dari kekasihnya. Ia pun membaca pesan singkat tersebut.

"Terima kasih ya buat hari ini :)"

"Iya... sayang :)" jawab Adam. Selang semenit kemudian kekasihnya menjawab pesannya dengan sebuah emot kecil. Adam membisu melihat smiley tersebut.

":*"

Adam mengucapkan salam terakhir. Ia lalu duduk terdiam di atas sajadahnya. Ia menatap gambar masjid di sajadahnya yang hampir tidak kelihatan karena gelapnya kamarnya malam itu. Satu-satunya cahaya di kamar tersebut hanyalah bintang-bintang yang menghiasi langit kamarnya. Adam menatap satu-satu bintang tersebut.

Adam berbisik pada Tuhan,"Bintang bertaburan di kamarku, tetapi aku masih merasa tersesat. Kupanjantkan doa hanya untuk-Mu, tetapi aku masih merasa tersesat. Mengapa aku masih bertanya-tanya, Tuhan, tentang perasaan ini?"

Adam mengambil hapenya dan membaca ulang pesan singkat yand dikirim kekasihnya sore itu.






"Salahkah Adam, Tuhan, yang tidak berhasil menemukan Hawa-Mu?"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog