Jeje

JEJE
oleh Andika Hilman

Perasaan paling bodoh yang dihasilkan cinta adalah kesendirian. Lebih tepatnya, ketiadaan cinta. Mengapa cinta membuat seseorang terisi, sedang ditinggalkannya membuat orang tersebut merasa sepi? Rasanya seperti menjadi orang paling kesepian di dunia. Seakan dunia sudah lelah dengan kita dan perlahan ikut meninggalkan kita.

Sama seperti yang dirasakan Jeje saat ini. Sakit hati bukan masalah utamanya, melainkan kekosongan. Rasanya seperti ada lubang hitam besar di balik dadanya. Lubang yang siap menghisap apa saja yang mendekat, termasuk aura gelap yang semakin meredupkan pojokan kamar Jeje tempat ia meringkuk. Jeje tidak pernah merasakan sesepi ini. Ia bingung mengapa ia merasakan hal seperti ini.

Jeje sudah sering sakit hati. Ia pun sudah sering jatuh cinta, meski tidak pernah bahagia karenanya. Jeje sudah jago move on. Dia juga sudah jago menjaga perasaannya agar tidak mudah jatuh cinta. Jeje berlatih menggunakan logikanya setiap bertemu pria yang tampa mengagumkan. Fisiknya yang tidak terlalu cantik membuatnya tidak mudah terjebak dalam suatu hubungan. Terang saja, yang mendekati saja jarang. Apalagi ia lebih sering menjadi “diri sendiri” di depan orang lain. Mungkin karena itu cowok jaga jarak dengannya, pikirnya.

Namun semua logikanya terpatahkan saat ini. Ia merasa kosong. Hampa. Gelap. Jeje rindu dengan sesuatu yang tidak ada. Ia sudah lama tidak merasakan cinta. Ia sudah lama menghindari cinta.  Entah mengapa saat ini ia merasa semua keputusannya salah. Bodoh. Alih-alih menang terhadap tipu muslihat cinta, ia merasa kalah dan tersungkur. Ia merasa.... Aneh.

Ia merasa aneh karena tidak bisa menangis. Ia bahkan tidak merasakan perih. Namun ia tahu ia tidak sanggup lagi berdiri. Jeje tidak bahkan tidak bisa tidur dan mengisitirahatkan otaknya. Ia terjaga sampai pagi membelai rambutnya. Beberapa jam kemudian Jeje terbangun. Ternyata sudah siang menuju senja. Mungkin ini saatnya untuk menangis, pikir Jeje.

“Tok tok tok!” tiba-tiba terdengar suara dari pintu rumahnya. Ia mengintip dari jendela, ternyata cuma tukang pos. Cukup aneh sebenarnya, karena Jeje jarang menerima surat ataupun paket. Ia mencoba mengingat-ingat habis membeli barang apa di internet. Tidak ada? Lalu apa yang dikirimkan pos tersebut?

Ketika si tukang pos mulai menyerah mengetok pintu rumah dan pergi, Jeje pun keluar. Ternyata ia menerima sepucuk surat. Ia pikir itu surat dari kampusnya, ternyata bukan. Itu bahkan bukan surat formal, itu surat pribadi! Jeje pun buru-buru masuk dan membuka surat tersebut di dalam.

Jeje mengambil minum dan duduk di  ruang tamu. Pelan-pelan ia membuka surat yang tidka ada nama pengirimnya tersebut. Jeje membaca isinya pelan-pelan. Ia mencoba memahami isinya secara seksama. Sampai suatu saat ia berhenti membaca tepat sebelum paragraf terakhir. Air matanya mengalir deras. Jeje tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia mencoba menahan suaranya, tetapi tidak bisa. Jeje menangis sepanjang sore itu.

“Maafkan aku, Tuhan,”bisik Jeje di tengah tangisannya,”Yang telah menjadi makhluk selemah ini. Maafkan aku.... Maafkan aku..... Maafkan aku.....” Jeje kemudian ingat ia belum menyelesaikan bacaannya. Perlahan ia mengambil surat itu dan membaca katanya satu-per-satu,“Yang.... Tabah.... Ya.... Jeje....”





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog