Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiga

PUCUK DICINTA ULAM PUN TIGA
oleh Andika Hilman

Ia selalu memanggilku Dewa. Katanya aku Dewa, entah Dewa apa. Mungkin Dewa cinta. Ia terlihat sangat mencintai. Cinta. Sayang. Kasih. Apapun itu namanya. Padahal aku sendiri tidak paham apa itu cinta. Percaya saja tidak. Buat apa percaya hal yang tidak ada? Okelah, kalau cinta bisa berfirman, tetapi sampai hari ini hanya Tuhan yang berbicara. Cinta tidak pernah menjelaskan kepada manusia siapa dia sebenarnya. Siapa itu cinta? Atau mungkin ‘apa’?

APA!

Aku masih tidak mengerti kenapa ia memanggilku Dewa. Padahal berbadan besar pun tidak. Padahal berkuasa pun tidak. Ia bahkan sering mengendalikanku. Bahkan sebagai pria, saat menonton drama air mataku jauh lebih banyak keluar daripada wanita pada umumnya. Aku bahkan tidak suka Power Rangers atau acara laki-laki apapun yang ada di televisi. Aku tidak mau menonton itu. Aku ingin bebas! Bebas! Bebas melihat, bebas membaca, bebas mengucap, bebas berpuisi, bebas segalanya! Seperti kali ini, diam-diam aku bebas. Tanpa sepengetahuannya aku menulis entah-apa-ini dengan bebas. Aku ingin bebas. Persetan dengan cinta!

Aku tidak tahu apa yang sedang kutulis. Atau ketik? Ah masa bodohlah! Aku tidak perlu tahu segalanya. Aku kan bukan Dewa? Aku hanya ingin tenggelam dalam lautan kafein tak berwarna yang selalu membakarku dalam malam. Sayangnya wanita itu tidak suka aku banjir kafein. Tidak sehat katanya, huh! Tahu apa dia soal kesehatan? Tahu apa dia soal tubuhku? Mencium bibirku saja tidak pernah. Ehem... Yah, aku sih juga tidak sudi menciumnya. Gila aja! Mending aku memeluk Dewi Malam!!

Maaf, sampai di mana aku tadi? Oh iya, aku baru sadar kalau aku sedang bercakap dengan diriku sekarang. Kamarku gelap dan angin menghembus dari balik kerangka kipas angin. Semua orang sedang tertidur dan hanya aku yang berdiri di sini sambil berbicara dengan diriku sendiri. Mungkinkah karena bulan purnama telah membuatku jadi siluman? Bukan serigala, tetapi manusia tanpa kesadaran.....

APA!

***
Aku hanya ingin tenggelam dalam lautan kafein tanpa warna yang selalu membakarku dalam malam. Diserudukku oleh banteng merah!

Aku ingat saat ia pertama kali memberitakan kabar tak sedap itu. “Dewa, lihat ini!” katanya sambil menunjukkan perutnya yang buncit. Ya, wanita hamil. Tak sanggup aku tak tersenyum saat melihat wajahnya yang begitu bahagia. Tak pernah kulihat bibirnya begitu mengembang. Tak pernah aku melihat keringatnya begitu bercahaya. Dan tak pernah aku mencium bau paling wangi langsung dari lubuk hatinya yang sangat gembira. Aku seakan makhluk paling jahat jika tidak ikut tersenyum. Aku harus bahagia, pikirku waktu itu.

Aku ingat sewaktu tanganku bergetar ketika ia berkata,”Ayo sini sapa adek kecilnya,”padaku sambil menarik telapakku ke pusarnya. Aku tidak siap, kataku pada diriku sendiri. Aku ingin mencintai wanita itu, tetapi tidak seperti ini. Kukira cintanya nanti mampu membuatku setegar pria. Namun tidak seperti ini.Tidak. Aku tidak ingin ada orang lain. Aku tidak ingin cintanya terbagi-bagi.....

***

Mungkin sejak hari itu aku otakku mulai tidak sinkron dengan definisi cinta. Aku tidak percaya lagi dengan cinta, tetapi aku membutuhkannya. Mungkin seperti ASI bagi bayi. Seorang bayi takkan pernah paham apa sebenarnya apa cairan putih yang keluar dari puting ibunya tersebut. Namun bagaimanapun ia ketagihan. Bayi itu ingin selalu minum susu itu. Ia butuh!

Aku butuh!
Cinta.
Sayang. Kasih. Apapun itu namanya!
Aku mau minum.

Aku hanya ingin tenggelam dalam lautan tanpa warna berlogo banteng merah dengan tulisan kafein pada bagian komposisinya.

Tiba-tiba di tengah kesunyian, seorang wanita mengetok-ngetok pintu ruanganku.

***

‘TOK TOK TOK TOK TOK!! Krek!’
Ia membuka pintu itu dan mendapatiku duduk dalam gelap di depan layar komputer. Dengan begitu perhatian, seorang wanita muda membentakku dengan sebuah pertanyaan,”Lagi ngapain kamu?!”

Aku diam.

“Kenapa tidak tidur? Sudah jam berapa ini?”tanyanya lagi. Tetap membentak.

Aku melihat jam. “Kan biasanya jam segini aku masih....”

"Nggak usah membantah!”katanya memotong. Kini ia gantian yang melirik ke arah jam dinding.
Jam 9 malam.....

***

Aku ingat suatu malam di masa lampau. Sama, saat itu waktu juga menunjukkan pukul 9. Bedanya aku dan dia duduk berdampingan dan sama-sama terjaga. Ia berkisah padaku bahwa ia ingin sekali punya anak perempuan. Sewaktu mengandung anak pertama, ia kira akan perempuan. Wanita itu sampai tidak ingin anaknya dicekkan alat kelaminnya. Supaya surprise, katanya. Sayang, kenyataan yang justru membuatnya terkejut. Anak pertamanya ternyata laki-laki.

Aku ingat sekali alasannya sampai menginginkan anak perempuan. Dulu sewaktu masih kecil, ayahnya ingin sekali anak laki-laki. Sayangnya, kelahirannya sebagai anak pertama membuatnya ayahnya sedikit kecewa. Mungkin karena naluri, anak perempuan itu diajak bermain permainan anak laki-laki oleh ayahnya. Teman-temannya sewaktu kecil kebanyakan laki-laki.

Perempuan kecil itu pun tumbuh menjadi cewek tomboy. Meski pada akhirnya ia punya adik laki-laki, hal itu tidak merubah apapun. Mungkin justru semakin memicu kelaki-lakiannya karena ia semakin sering bergaul dengan barang-barang berbau laki-laki.

Aku tidak tahu mengapa aku bisa mengingat kisahnya sejelas ini. Malam itu ia bercerita padaku bahwa ia menyadari semuanya ketika beranjak dewasa. Ia akhirnya sadar bahwa feminin itu sangatlah penting bagi seorang wanita, terutama untuk merasakan cinta. Akhirnya ketika menikah, dalam hati ia bertekad bahwa jika suatu hari nanti ia punya anak perempuan maka akan didiknya sefeminin mungkin. Sayangnya nasib berkata lain. Anak pertamanya adalah seorang Dewa.....

Aku hanya ingin tenggelam dalam lautan kafein yang.... Tunggu! Mengapa kafein membuatku mabuk?

***

“Dewa! Dengerin Mama kalau lagi ngomong!” kata wanita itu. Suaranya mulai datang samar-samar ke daun telingaku. Mataku pusing. Pandanganku berputar. Mulutku manis dan bergetar. Aku mencoba menahan kepalaku agar tidak jatuh ketika ia menghampiriku....

***

Aku ingat hari pertamaku masuk SD setahun yang lalu. Sewaktu aku mau mengerjakan PR aku meminta Red Bull milik Papa. Bukan alkohol, katanya. Tidak apa-apa kalau kucoba, asal tidak banyak-banyak.
***

Aku melihatnya menghampiriku. “Lagi nulis apa kamu, Nak?”tanyanya sambil membaca tulisanku. Ia lalu melihat novel-novel sastra di samping laptopku dan mulai menebak-nebak apa yang terjadi padaku.

“Bukan apa-apa kok, Bundaku sayang. Cuma....” Bruk! Aku ambruk sebelum sempat menyelesaikan kalimatku. Aku meraih sisa-sisa kesadaranku dan melihatnya menemukan apa yang kuminum, sebotol minuman dari kamar ayah yang bertuliskan Red Bull. Sepertinya.....

‘OOOEEEK.......!!’

“ASTAGA KAMU MINUM ALKOHOL, DEWA! DAPAT DARI MANA INI? MASIH KECIL KOK MI..........”kata-katanya hilang mengikuti mataku yang perlahan-lahan menutup. Aku telah resmi tenggelam, tetapi dalam lautan yang salah.

***

“OOOEEEK!!”suara samar tangisan adek bayi dari ruangan sebelah yang entah mengapa terdengar sangat jelas di telingaku. Sesaat sebelum aku teler, aku mengingat sesuatu hal. Adek kembar di sebelah keduanya perempuan. Adikku perempuan!! Harapan wanita di depanku ini rupanya telah terkabul. Mungkin itu mengapa aku sering melihatnya bahagia meski begitu kelelahan. Namun yang ia tidak tahu, Dewanya kini telah berubah menjadi cowok manja yang lemah dan puitis. Dewa sudah bukan laki-laki lagi. Selamat! Pucuk dicinta, ulam wanita itu pun kini ada tiga.

***

Ah, bicara apa aku?
Sepertinya aku benar- benar mabuk malam ini.....




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog