Bidadari Terakhir [Short Review]

Judul: Bidadari Terakhir (2015)
Sutradara: Awi Suryadi
Pemain: Maxime Bouttier, Whulandary Herman, Julian Jacob
Sinopsis:
“Rencanakanlah semua, dan masa depanmu akan cemerlang.” Itulah yang diyakini RASYA (17). Karena itulah ia terus belajar dan belajar, demi mengikuti jalan yang dipaparkan ayahnya, TAMA (52), seorang pejabat PNS berkarir cemerlang. Kegiatan apa pun yang di luar rencana besarnya itu tak jadi prioritas, dan karena itu jugalah ia terus menghindari pendekatan MARIA (16) seorang adik kelas yang suka padanya.

Hingga suatu hari HENDRA (17), teman Rasya, menggeretnya ke sebuah tempat pelacuran untuk refreshing. Di sanalah, dalam sendiri menunggu Hendra selesai, ia bertemu dengan EVA (21), salah satu pelacur di sana. Pribadi Eva yang blak-blakan dan selalu “hidup untuk hari ini” membangkitkan ketetarikkan Rasya. Saking tertariknya, pada hari-hari berikutnya Rasya sengaja berkunjung hanya demi bercakap-cakap dengan Eva.

Seusai kelulusan SMU, Rasya meninggalkan semua rencananya. Ia ingin, paling tidak untuk sementara, hidup untuk hari ini. Ia akan berkelana, terus memperluas cakrawalanya, dan berusaha menemukan jalan untuk dirinya sendiri. Apakah Rasya akan memilih EVA seorang pelacur yang mampu mengubah hidupnya ? atau Maria adik kelasnya yang sangat mencintainya ? Saksikan di bioskop mulai 10 September 2015. (sumber: cinema 21)

Selalu menyenangkan melihat sebuah novel menarik yang akhirnya dibukukan. Selamat kepada Bidadari Terakhir karya Agnes Davonar yang akhirnya diangkat ke layar lebar. Sayangnya novel ini tidak pernah kudengar sebelumnya. Apakah karena aku kurang gaul atau karena memang novelnya tidak booming-booming amat? Tapi itu tidak penting. Lebih baik kita langsung saja review filmnya.

Oke, film ini intinya: Not so recommended. Bisa dibilang film ini diproduksi dengan baik, jika kita mengabaikan naskah dan story telling-nya. Secara teknis baik, tetapi tentunya bukan itu yang terpenting dari sebuah film bukan? Cerita harus tetap nomer satu.

Sebagaimana yang kita tahu, cerita 'Bidadari Terakhir' tidak harus diragukan karena diangkat dari sebuah novel (yang pastinya menarik). Namun seperti mengulang kesalahan-kesalahan film makers seluruh dunia, sang sutradara tampak gagal mengambil poin-poin penting dari novel tersebut. Seakan terlalu excited saat membaca novelnya, ia jadi ingin memasukkan semua unsur ke dalam filmnya. Dan karena dipaksakan, hasilnya pun jadi tidak menyenangkan. Beberapa karakter dan konflik menjadi tampak tidak penting karena film yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam ini tidak mampu membangun suasana yang cukup.

Aku suka awal film ini yang tidak banyak basa-basi dan mampu mengenalkan dua tokoh utama kita dengan baik, yaitu Eva dan Rasya. Hal paling menyenangkan di film ini memang proses pembangunan chemistry Rasya dan Eva, baik itu di kamar prostitusi ataupun ketika mereka dating sambil berbagi mimpi. Namun setelah hubungan dua karakter ini terbentuk, sisa durasi menjadi serba cepat dan terburu-buru.

Meskipun begitu film ini masih bisa dinikmati, terutama buat cewek-cewek yang tidak masalah dibodoh-bodohi dengan cerita klise, momen dramatik basi, karakter cowok yang super sempurna dan beberapa detail logika film lainnya. Film ini tidak semudah ditebak drama-drama Korea kok, hanya saja ketika kita menangis di dalam studio setelah keluar kita akan bertanya pada diri sendiri,"Kok tadi aku nangis ya??"
'Bidadari Terakhir' cukup membawa angin segar karena berlatar belakang Balikpapan yang jarang muncul di film-film Indonesia. Kita akan dibawa melihat pemandangan-pemandangan indah dan logat orang Kalimantan yang unik. Selain itu film ini juga membawa topik 'prostitusi' dan 'pacaran dengan wanita yang lebih tua' yang tentunya menarik untuk disimak. Film ini akan cocok buat kalian yang ingin nonton santai bersama teman-teman cewek karena sudah agak bosan belanja. This movie wasn't as bad as I expected.....


  
(Tonton behind the scene-nya di sini dan sini)

RATING: 3/10






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Asian Value dan Human Rights | Opini

Masa SMA 4: Malam Perpisahan | Blog